Mohamad Nizar: mohamadnizar@manggala.ac.id ; https://jurnal.manggala.ac.id/
A. Filsafat dan Filsafat Ilmu
- Filsafat dan Agama
Kata filsafat menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (philo = cinta, sophia = kebijaksanaan). Secara terminologis adalah berpikir kritis (rasional) dan berkontemplasi (merenungkan) tentang kehidupan (universal) secara radikal (sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya). Filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran dan memahami realitas kehidupan. Namun, keduanya berbeda dalam pendekatan (prinsip), metode (cara), dan sumber kebenaran. Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara filsafat dan agama:
Aspek | Filsafat | Agama |
Sumber Kebenaran | Rasio, logika, dan pengalaman manusia. | Wahyu, kitab suci, dan ajaran Tuhan. |
Metode Berpikir | Kritis, rasional, dan analitis. | Dogmatis (percaya pada ajaran tertentu) dan transendental. |
Sifat Pemikiran | Terbuka terhadap perubahan, terus berkembang, dan selalu dipertanyakan. | Tetap dan mengikat, tidak bisa diubah oleh manusia. |
Tujuan | Mencari kebenaran berdasarkan logika dan pemikiran manusia. | Memandu kehidupan manusia berdasarkan kehendak Tuhan. |
Pendekatan | Bersifat spekulatif, reflektif, dan mempertanyakan segala sesuatu. | Bersifat praktis dan normatif, memberikan pedoman hidup. |
Hubungan dengan Tuhan | Tuhan dipertanyakan eksistensinya melalui akal. | Tuhan diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak. |
Agama memberikan makna dan tujuan hidup yang lebih mendalam dibandingkan filsafat yang cenderung mempertanyakan segalanya. Filsafat dapat membantu memahami dan menganalisis konsep-konsep dalam agama secara lebih rasional. Sebaliknya, Beberapa pemikir bahkan mencoba mengharmoniskan keduanya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd dalam tradisi Islam.
2. Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu adalah filsafat epistemologis (cabang filsafat) yang mengkaji hakikat ilmu pengetahuan, termasuk dasar, metode, batasan, serta validitasnya; memahami bagaimana ilmu berkembang, bagaimana kebenaran ilmiah dapat dibuktikan, dan apa saja batasan dari suatu ilmu; dan bagaimana ilmu itu harus memberi manfaat, dipertanggungjawabkan secara moral dan etis. Beberapa tokoh besar penting dari Islam dalam filsafat ilmu antara lain: Al-Farabi (872–950 M), iadijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles (“Guru Pertama”). Iamengembangkan hierarki ilmu, di mana filsafat dan logika menjadi dasar bagi ilmu lainnya danmenganggap bahwa ilmu harus digunakan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Ibnu Sina (980–1037 M) yangmengembangkan teori epistemologi iluminasi. Ia menganggap bahwa ilmu diperoleh melalui akal dan intuisi dan berhail mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu rasional (filsafat, matematika) dan ilmu empiris (kedokteran, fisika), sertamenguatkan konsep kausalitas dalam ilmu pengetahuan. Al-Ghazali (1058–1111 M) yangmengkritik filsafat Yunani dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf).Ia berhasil mengembangkan konsep ladunian dan memadukan ilmu agama dengan ilmu rasional dalam Ihya’ Ulumuddin. Ibnu Rushd (1126–1198 M) yang membela filsafat dan logika dalam Tahafut al-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan). Ia berhasil mengembangkan metode rasional dalam memahami wahyu dan berpendapat bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Al-Biruni (973–1048 M), ia adalah salah satu ilmuwan Muslim pertama yang menerapkan metode ilmiah dalam penelitian. Ia menulis banyak karya dalam bidang astronomi, matematika, dan fisika, serta mengedepankan pengamatan empiris dan eksperimen dalam memperoleh ilmu. Ibnu Khaldun (1332–1406 M), ia merumuskan teori ilmu dalam Muqaddimah, yang menjadi dasar ilmu sosial dan historiografi modern. Ia menekankan pentingnya sebab-akibat dalam sejarah serta pendekatan ilmiah dalam memahami masyarakat, serta berhasil mengembangkan teori siklus peradaban berdasarkan analisis empiris.
Beberapa tokoh besar penting dari Islam dalam filsafat ilmu antara lain: Karl Popper (1902–1994) – Teori Falsifikasi – filsuf ilmu asal Austria-Inggris, bukunya The Logic of Scientific Discovery (1934) memperkenalkan falsifikasi sebagai kriteria demarkasi antara ilmu dan non-ilmu. Ia berpengaruh pada epistemologi abad ke-20, terutama dalam filsafat sains. Thomas Kuhn (1922–1996) – Paradigma Ilmiah dan Revolusi Ilmu – seorang fisikawan dan filsuf ilmu dari Amerika Serikat. Karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962) memperkenalkan konsep paradigma dan revolusi ilmiah. Ia mengubah pandangan tentang perkembangan ilmu dari sesuatu yang kumulatif menjadi berbasis pergantian paradigma. Imre Lakatos (1922–1974) – Program Riset Ilmiah – filsuf ilmu kelahiran Hungaria. Ia mengembangkan teori research programmes (program riset ilmiah) yang merupakan sintesis antara falsifikasi Popper dan paradigma Kuhn. Karyanya yang terkenal adalah The Methodology of Scientific Research Programmes (1978, diterbitkan setelah wafatnya). Paul Feyerabend (1924–1994) – Anarkisme Metodologis – filsuf ilmu kelahiran Austria yang kemudian bermukim di Amerika Serikat. Bukunya Against Method (1975) mengkritik metode ilmiah yang baku dan mengusulkan anarkisme metodologis, dengan slogannya “apa saja boleh” (anything goes). Ia berperan dalam pendekatan postmodern terhadap filsafat ilmu.
Makalah diskusi ini didedikasikan kepada bakal akademisi, politisi, teoretisi, praktisi, ilmuwan, negarawan, teknokrat, dan teknolog agar bijak dalam berpikir, bertutur, dan bertindak menurut perspektif bidang kaji atau bidang keahliannya. Makalah ini berpeluang untuk dikritisi apakah sepakat namun dari perspektif yang berbeda atau sebaliknya. Berbekal pengetahuan Filsafat Ilmu, mereka diarahkan untuk menelusuri tiga landasan bernalar (reason) agar menghasilkan suatu pemikiran saintifik (thought), yaitu penulusuran tentang hakikat (ontologi), cara mempelajari (epistemologi), dan manfaat (aksiologi)bidang kaji (disiplin ilmu) atau keahlian yang digelutinya. Mereka diarahkan pada esensi (konklusi, inferensi) tentang kesetaraan harkat antara bidang kaji atau keahlian yang satu dengan yang lainnya, walaupun setiap bidang kaji atau keahlian itu memiliki keberagaman objek (sasaran), subjek (data/informasi), metodologi (prinsip/pendekatan, metode, teknik), waktu, tempat serta spesifisitas kegunaannya. Diskusi ini dimulai dari penelusuran tiga landasan tersebut, dilanjutkan kepada metodologi riset (positivisme) dan postpositivisme. Kiat merumuskan suatu problematika menurut hirauan suatu disiplin ilmu atau bidang studi, suatu keahlian atau suatu pengetahuan itu tak perlu dipaksa-paksa seragam dengan kiat merumuskan menurut bidang lainnya. Maka dalam hal ini, masing-masing bidang kaji memiliki semangat kemandirian pada ihwal metodologi, meskipun harkatnya sama. Diasumsikan bahwa suatu teori/prinsip atau pendekatan yang mapan itu mampu menyelesaikan problematika yang ada, namun karena keberagaman tersebut, maka asumsi itu tidak berlaku lagi. Di sinilah saatnya mencari suatu rumusan baru yang mengarah kepada geseran-gerakan (shift-moving) paradigma baru, karena fenomena, isu, dan peristiwa kehidupan itu selalu bergeser dan bergerak.
Urgen dan krusial diberikan Filsafat Ilmu menurut kearifan jenjang pendidikan dan usia sejak awal pembelajaran baik di pendidikan dasar, menengah, atau pendidikan tinggi, juga tanpa harus menimbang-nimbang vokasional, akademik atau spesialis. Tugas pendidikan tinggi adalah sebagai centre of excellence dan research university yang tak kunjung menapak (down to the earth) di negara ini atau semakin asyik melayang-layang sendiri-sendiri (flying to heaven), bahkan cenderung tak dilirik oleh sebagian dari mereka untuk memverifikasi pemikirannya tentang problematika yang menimpa bangsa dan negara ini.
Pengetahuan Filsafat Ilmu seyogianya sebagai dasar diskusi-diskusi mereka; terpaut hal metodologis dalam bidang kaji dan keahlian/profesinya. Filsafat ilmu itu sendiri memuat perkembangan dinamis dan terbuka dalam objektivitas kekinian (postmodernisme) tanpa pilih-pilih, tanpa melecehkan dan menguggulkan bidang kaji atau profesi lainnya bahkan tanpa harus meskreditkan institusi pendidikan tinggi manapun (arogansi keilmuan antaralmamater). Wabilkhusus, jangan ada lagi peserta didik menjadi bulan-bulanan kegagalan pembelajaran, akan lebih arif jika para akademisi dan guru berkontemplasi, sejauh manakah kemampuan keilmuannya di-shidqah-kan kepada para mahasiswa dan peserta didiknya. Mari mengkaji diri secara “jujur” bahwa ilmu-pengetahuan dalam diri ini mutlak dibarengi “kesadaran” agar hidup ini reasonable dan “etis”.
Filsafat ilmu memberi:
- kesempatan mengidentifikasi ihwal knower, knowing, known, knowledge serta merujuk insting pencaritahuan dan pemberitahuan: belajar mengamati jenis dan sumber pengetahuan, rasio, logika, akal sehat dan opini khalayak serta kebakuan (commonsense, public opinion, majority), kriteria kebenaran, kebenaran ilmiah, dan jenjang pengetahuan karena manusia itu hakekatnya tidak tahu;
- pengetahuan perkembangan atau sejarah serta stuktur ilmu: klaim “harkat” science dibandingkan field of study, discipline, doctrine, ideology, technology terkait posisi satu bidang dengan bidang lain yang mengitarinya (“teknik operasional analisis” dyadic, hybrid, inter/mutidisiplner, FGD, CGD).
- pengetahuan khasanah kegiatan berpikir, baik klasik maupun kontemporer: Deduksi dan Induksi; Rasionalisme, Empirisme, serta Saintisme; Positivisme dan Postpositivisme; Realisme, Historisisme, Behaviorisme dan Behavioralisme;
- kesempatan berpikir ilmiah, menuangkan konsep-konsep keilmuan yang dikajinya berkat sarana keterampilan ber-Bahasa, berkonsepkan Matematika, juga Statistika (Knowledge in Computerized Societies) pada era Industry 4.0 dan Society 5.0;
- pengetahuan hirauan ilmu fisikal dan sosial: identifikasi rincian unit/ level telaahnya dari kekhususan atau spesifisitas hingga keumuman atau generalitas suatu peristiwa, isu, dan fenomena juga interaksi fisikal dan sosial dalam kehidupan, scope, boundary, characteristic hirauan ilmu, Science, Social Science, and Ideology, juga mengupas pertanyaan Is the Science of Social Life a Science dalam realitas atau fakta sosial;
- kesempatan memperdalam filosofi cara kerja ilmu yang menuntut kriteria bebas nilai serta cenderung mengunggulkan metodologi kuantitatif: ilmu mengandung keterbatasan inderawi ataupun insani, terutama dalam merujuk cognitive meaning (W. V. Quine The Monist, Volume 62, Issue 2, 1 April 1979, Pages 129–142: https://doi.org/10.5840/monist197962211), individual minds (Understanding Individual Differences in Theory of Mind via Representation of Minds, Not Mental States. https://www.researchgate.net/publication/325206108), personal preferences (Social influence or personal preference? Examining the determinants of usage intention across social media with different sociability: https://www.researchgate.net/publication/282409294 ), (mis)perception, logic, serta the function of philosophy, atau menyangkut kemungkinan seperti Felt Knowledge dan Narrative Knowledge (banyak jurnal/artikel tentang ini semua);
- pendalaman filosofis cara kerja ilmu (menghendaki ketertentuan, keterhinggaan, atau keterkendalian) pada ihwal anarchical phenomena, turbulence, imperialistic science, berikut factual meaningfulness, its status and its adequacy (refutation of empiricist theses on the A Priori, the synthetic A Priori and its uses: KANT’S FORMAL IDEALISM, THE SYNTHETIC A PRIORI, AND THE CONSTITUTION OF OBJECTS OF EXPERIENCE: http://d-scholarship.pitt.edu/25079/1/Nunez-Dissertation_1.pdf;
- kesempatan mengidentifikasi pokok perbedaan-kesamaan Ilmu-ilmu Fisikal dan Sosial, selanjutnya Ilmu Sosial Naturalistic, Interpretative, serta Critical yang berujung pada ihwal memahami bidang kajinya (secara komparatif pula mengetahui ihwal behavior dan behavioral);
- pemahaman komunikasi keilmuan (terminologis, Sensible Effects, Language Games, Scientistic Language, serta penataan Conceptual Scheme) juga melatih pembelajar membangun komunikasi intersubjektivitas (dyad) dalam Problems in the Development of Meaning Criteria; Problems in the Application of Testing Criteria, komunikasi di dalam dan luar masyarakat keilmuannya, sosialisasi serta diseminasi bagi kepentingan ilmu maupun kepentingan publik;
- pengetahuan (garis besar) kegiatan riset (penelitian, penyelidikan, penyidikan) guna memperoleh pengetahuan secara sistemik dan terencana dengan menghiraukan etika akademiknya (manipulasi ilmiah, replikasi dan duplikasi, temuan dan kebaruan, kutipan dan lain-lain);
- kesempatan mempelajari manfaat ilmu (kepentingan masyarakat luas dan kebijakan publik) pada ihwal Public Image and Public Policy; Science and Government serta Knowledge and Power ataupun Policy Making for Science-Based Technology, Policy Making and Public Participation;
- kesempatan mengetahui kekinian ilmu (dinamika pertumbuhan metodologi) terutama mencuatkan acuan Gender dan Feminisme (The Myth of Dispassionate Investigation, Uncovering Gynocentric Science, Can There Be A Feminist Science? dan The Value of Quantitative Methodology for Feminist Research).
Dengan inilah pembelajar diasumsikan mampu memahami figur bidang kaji dan profesinya dan percaya diri dalam dan bergaul di dunia kerjanya dan di masyarakat.
Referensi:
Al-Farabi. Al-Madina Al-Fadila.
Al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah.
Chalmers, Alan. What Is This Thing Called Science?. Open University Press, 1999.
Feyerabend, Paul. Against Method. Verso, 1975.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah.
Ibnu Rushd. Tahafut al-Tahafut.
Ibnu Sina. Kitab Al-Shifa.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press, 1962.
Lakatos, Imre. The Methodology of Scientific Research Programmes. Cambridge University
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. Routledge, 2002. Quine, W.V. “The Monist, Volume 62, Issue 2, 1 April 1979, Pages 129–142.” https://doi.org/10.5840/monist197962211
Silahkan baca:
- Understanding Individual Differences in Theory of Mind via Representation of Minds, Not Mental States. ResearchGate
- Social Influence or Personal Preference? Examining the Determinants of Usage Intention Across Social Media with Different Sociability. ResearchGate
- Kant’s Formal Idealism, The Synthetic A Priori, and the Constitution of Objects of Experience. University of Pittsburgh
Gender dan Feminisme dalam Sains: The Myth of Dispassionate Investigation, Uncovering Gynocentric Science, Can There Be A Feminist Science?