KHASANAH PEMIKIRAN POSTMODERNISME

mohamadnizar@manggala.ac.id

mohamadnizar@gurukedua.com

mohamadnizar@gmail.comhttps://jurnal.manggala.ac.id

  1. Pengantar

Pemikiran postmodernisme telah menjadi salah satu aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam dekade terakhir, menantang konsep-konsep yang telah mapan dalam modernisme, terutama dalam bidang epistemologi, hermeneutika, dan struktur sosial. Dengan menolak universalitas dan otoritas kebenaran tunggal, postmodernisme menghadirkan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual dalam memahami realitas.

Tulisan ini akan mengulas berbagai tokoh utama dalam pemikiran postmodernisme, mulai dari Jacques Derrida dengan dekonstruksinya yang menantang oposisi biner dalam teks (Derrida, J. 1978), Michel Foucault yang mengkritik hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan (Foucault, M. 1980), hingga Roland Barthes yang menggali makna mitos dalam budaya (Barthes, R. 1957). Selain itu, Jürgen Habermas, Jean-François Lyotard, dan Jean Baudrillard juga turut dibahas dalam kaitannya dengan rasionalisasi komunikasi (Habermas, J. 1981), kritik terhadap narasi besar (Lyotard, J-F. 1984), serta fenomena simulasi dan hiperrealitas dalam masyarakat kontemporer (Baudrillard, J. 1981).

B. Dekonstruksi Hermeneutik Radikal ala Derrida

Jacques Derrida (Derrida, J. 1978), melalui konsep dekonstruksi, menantang asumsi dasar hermeneutika tradisional dengan menunjukkan bahwa makna teks selalu tidak stabil dan terbuka untuk berbagai interpretasi. Dalam ilmu sosial, dekonstruksi Derrida digunakan untuk: 1) mengkritik ideologi yang menunjukkan bagaimana makna dalam wacana sosial sering kali dikonstruksi oleh kekuasaan; 2) menganalisis idan perbedaan, yakmi membongkar biner oposisi (misalnya: pusat/margin, maskulin/feminin) yang membentuk struktur sosial; 3) meneliti bahasa dan wacana, yaitu mengungkap ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi social. Meskipun Derrida skeptis terhadap konsep makna yang stabil dalam hermeneutika klasik, gagasannya tetap berkontribusi pada analisis sosial dengan mengajarkan bahwa interpretasi tidak pernah final dan selalu berhubungan dengan kekuasaan dan konteks historis.

Dalam pemikiran Jacques Derrida, hermeneutik atau upaya penafsiran teks oleh pemakna tidak pernah berhenti. Pendekatan Derrida mengusulkan untuk menggeser makna yang berada di pinggiran (marginal) dan tidak semata-mata mengutamakan apa yang dianggap inti (dominan) dalam teks. Misalnya, jika kebenaran mayoritas tidak memberikan solusi, maka gagasan-gagasan marginal—yang sering dianggap remeh (trivial)—perlu diangkat dan dianalisis secara cermat. Gagasan-gagasan tersebut diklasifikasikan berdasarkan keunikannya, disusun ke dalam skenario-skenario (di mana tiap skenario memuat setidaknya dua pilihan gagasan marginal), dan kemudian dihadirkan sebagai solusi alternatif. Pilihan solusi baru dapat ditentukan setelah salah satu skenario dijalankan.

Penting untuk menghindari generalisasi yang berlebihan, karena hal tersebut justru dapat menekan gagasan-gagasan marginal yang potensial. Generalisasi merupakan pemaksaan struktur yang berpotensi “membunuh” gagasan inovatif, karena kebenaran dominan sering kali mempertahankan status quo oligarki hegemonik. Dengan demikian, tanpa pemahaman yang mendalam terhadap kebenaran yang mapan, penafsiran terhadap gagasan marginal menjadi kacau dan hanya akan menghasilkan pembenaran atas pengetahuan yang salah. Di sini, peran rasio, empirisme, intuisi, dan metanarasi diuji. Metanarasi itu sendiri dapat berasal dari kearifan lokal (seperti kesenian, sastra, atau bangunan adat), metafisika (misalnya, misteri alam), maupun teks suci keagamaan. Meskipun proses ini kompleks, pendekatan tersebut dianggap canggih, solutif, dan merupakan bentuk antikemapanan atau antimainstream.

Menurut Derrida, pemahaman tentang kebenaran tidak pernah berakhir. Kebenaran bersifat kontekstual, berkembang seiring dengan pergeseran pemikiran lama menuju pemahaman baru, dan tidak bersifat tunggal, universal, atau absolut. Dengan mengorganisasikan gagasan yang bersumber dari rasio, empirisme, intuisi, dan metanarasi, pemahaman baru yang autentik akan muncul secara dinamis—itulah esensi berpikir kritis.

Di sisi lain, pemikiran modernis cenderung menggeneralisasi pemahaman dari satuan-satuan konkret (craving for generality) dengan berupaya menyatukan kemajemukan menjadi satu kesatuan (craving for unity). Generalisasi tersebut mengabaikan keberadaan gagasan marginal yang seharusnya mendapatkan pengakuan. Derrida menegaskan bahwa perbedaan dalam berpikir sering kali terwujud dalam oposisi biner. Menentang salah satu kutub dalam biner tersebut berpotensi memicu hegemoni, karena deretan antinomi—jika berlebihan—dapat memperkuat sisi hegemonial dan semakin meminggirkan gagasan lain. Proses penafsiran yang cermat diperlukan untuk mengungkap gagasan yang selama ini terbungkam dan dikurung, sehingga dapat mengkomunikasikan esensinya secara utuh. Sejarah pun menjadi fondasi utama dalam berpikir, karena setiap istilah memiliki latar belakang sejarah yang menunjukkan bahwa maknanya tidaklah stabil, melainkan terus berubah sesuai konteks dan jejak-jejak masa lalu. Derrida, J. (1978): Melalui dekonstruksi, Derrida membongkar oposisi biner dan menantang kemapanan modernisme.

C. Foucault: Kegilaan dan Nir-Rasio

Menurut Michel Foucault (Foucault, M. 1980), imajinasi dan penalaran memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menggunakan bahasa yang sama dan menempati ruang serta waktu yang sama. Gagasan dan tindakan imajiner cenderung lebih bebas dibandingkan dengan kebenaran penalaran saintifik. Kebebasan berimajinasi ini sering kali muncul pada individu-individu yang dicap “gila.”

Foucault berargumen bahwa kebenaran pengetahuan saintifik menjadi ahistoris karena dikotak-kotakkan oleh kekuasaan, sehingga mengeliminasi kelompok yang dianggap gila. Pengetahuan saintifik sendiri mengandung unsur kekuasaan, dan sebaliknya, kekuasaan turut membentuk apa yang dianggap sebagai kebenaran. Ketika pemikiran disusun oleh kekuasaan saintifik, pengetahuan tersebut dianggap mapan dan universal, yang pada akhirnya menyebabkan pengusiran dan pembungkaman terhadap kelompok yang dianggap tidak sesuai.

Pada zaman Renaissance, Foucault menemukan bahwa kegilaan dan penalaran berada dalam hubungan yang erat karena keduanya menggunakan bahasa yang sama. Kegilaan sebagai simbol kebebasan imajinasi masih merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Namun, pada periode 1650–1800, dialog antara kegilaan dan penalaran mengalami pembungkaman; keduanya mulai diekspresikan dalam bahasa yang berbeda, sehingga penalaran menguasai dan secara bertahap menyingkirkan kegilaan dari ranah kehidupan logis semu. Hal ini terlihat pada penertiban terhadap individu yang dianggap gila, penjahat, atau gelandangan melalui institusi seperti polisi dan pengadilan. Foucault juga mengaitkan pemikirannya dengan warisan Friedrich Nietzsche, dengan menekankan bahwa bahasa, kata, dan teori dirangkai untuk mempertahankan kekuasaan dalam setiap aspek kehidupan, bahkan pada ranah pribadi. Foucault, M. (1980): Konsep “kuasa/pengetahuan” dalam Power/Knowledge menjelaskan bagaimana kebenaran dibentuk oleh relasi kuasa. Foucault, M. (1980): Konsep “kuasa/pengetahuan” dalam Power/Knowledge menjelaskan bagaimana kebenaran dibentuk oleh relasi kuasa.

D. Roland Barthes: Kehadiran Mitos

Roland Barthes (Barthes, R. 1957) menunjukkan bahwa mitos dalam kehidupan sehari-hari melalui bahasa, media, dan praktik budaya. Ia mengajak kita untuk menelanjangi mitos dan memahami bagaimana makna dibentuk serta digunakan untuk kepentingan ideologis. Dalam karyanya Mythologies (1957), mengembangkan gagasan bahwa mitos adalah sistem tanda yang membentuk cara masyarakat memahami dunia. Mitos bukan sekadar cerita turun-temurun (metanarasi), tetapi merupakan cara tertentu dalam memberikan makna pada realitas sosial melalui bahasa, gambar, dan praktik sehari-hari.

Roland Barthes berpendapat bahwa makna konotatif, negasi, dan hal-hal yang dianggap sepele dapat memiliki fungsi yang melebihi struktur yang ada. Dalam karyanya, Barthes mengungkap makna di balik struktur bahasa (simbol) serta adanya makna yang muncul dari metabahasa melalui konsep “mitos.” Misalnya, ungkapan seperti “Kiamat Terjadi Tahun 2012” atau “Secangkir Anggur Merah” menunjukkan daya tarik kultural yang mendalam. Barthes juga menyoroti bahwa praktik sehari-hari—seperti merokok—dapat berubah menjadi simbol yang merepresentasikan nilai-nilai kultural dan mitologi tertentu.

  1. Mitos sebagai Sistem Makna Konotatif

Barthes berpendapat bahwa makna tidak hanya bersifat denotatif (makna langsung), tetapi juga konotatif (makna tambahan yang muncul dari konteks budaya). Dalam mitos, makna konotatif ini sering kali menjadi alat ideologi yang mempengaruhi cara masyarakat berpikir tanpa disadari. Contoh:

  1. “Kiamat Terjadi Tahun 2012”: Tidak hanya merujuk pada ramalan kalender Maya, tetapi juga membentuk ketakutan kolektif dan spekulasi global tentang akhir dunia.
  2. “Secangkir Anggur Merah”: Selain sebagai minuman, anggur merah dalam berbagai budaya dikaitkan dengan kelas sosial, romantisme, atau gaya hidup mewah.

2. Negasi dan Alamiah dalam Mitos

Barthes menunjukkan bahwa mitos sering kali bekerja melalui proses negasi (menyembunyikan asal-usul ideologi) dan alamiah (membuat makna tertentu tampak seolah-olah universal dan tidak dapat dipertanyakan). Contoh:

  1. Merokok sebagai Simbol Kebebasan: Di era tertentu, iklan rokok sering menampilkan pria maskulin dan petualang (misalnya Marlboro Man), menghilangkan makna kesehatan yang sesungguhnya dan menjadikannya simbol kebebasan.
  2. Citra Pahlawan dalam Film Hollywood: Film sering menggambarkan tokoh tertentu sebagai “pahlawan” dan yang lain sebagai “penjahat,” sehingga membentuk pemahaman tertentu tentang keadilan tanpa mempertanyakan konteks historis atau politiknya.

3. Metabahasa dan Mitos dalam Media

Barthes juga membahas bagaimana mitos bekerja melalui metabahasa, yaitu bahasa yang berbicara tentang bahasa itu sendiri. Media dan iklan sering menggunakan simbol yang membangun mitos tertentu untuk mempertahankan ideologi dominan. Contoh:

  1. Iklan Produk Kecantikan: Mempromosikan standar kecantikan tertentu yang dianggap alami, padahal sebenarnya merupakan konstruksi sosial.
  2. Narasi Nasionalisme dalam Poster Politik: Simbol seperti bendera atau pahlawan sering digunakan untuk menciptakan rasa kebanggaan dan identitas kolektif.

E. Jürgen Habermas: Rasionalisasi dan Komunikasi

Jürgen Habermas (Habermas, J. 1981), seorang filsuf Jerman dari aliran Teori Kritis, mengembangkan gagasan bahwa rasionalisasi dalam berpikir kritis harus diwujudkan melalui komunikasi yang efektif. Dalam The Theory of Communicative Action (1981), ia menekankan bahwa masyarakat yang demokratis dan rasional tidak boleh mengandalkan kekerasan atau revolusi, melainkan membangun kesepahaman melalui diskursus yang terbuka dan inklusif. Habermas menawarkan teori yang menekankan pentingnya komunikasi dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis dan rasional. Dengan menyoroti klaim validitas dalam komunikasi, ia menunjukkan bagaimana diskursus dapat menjadi alat utama dalam mencapai konsensus dan menghindari bentuk dominasi yang tidak adil. Habermas menekankan pentingnya rasionalisasi dalam berpikir kritis melalui komunikasi yang efektif. Masyarakat komunikatif tidak mengandalkan kekerasan atau revolusi, melainkan berdialog dalam diskursus yang bertujuan mencapai konsensus. Habermas mengidentifikasi empat klaim utama dalam komunikasi efektif, yaitu: Klaim kebenaran atas realitas alamiah; Klaim ketepatan dalam pelaksanaan norma social; Klaim keautentikan dalam ekspresi diri; dan Klaim komprehensibilitas secara menyeluruh Pihak yang mampu memenuhi keempat klaim tersebut memiliki apa yang disebut sebagai “kompetensi komunikatif.” Habermas, J. (1981): Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas mengkritik modernisme yang belum selesai

  1. Masyarakat Komunikatif dan Diskursus Rasional: Menurut Habermas, masyarakat yang komunikatif adalah masyarakat yang mampu berpartisipasi dalam diskusi yang rasional dengan tujuan mencapai konsensus. Komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, tetapi juga proses yang memungkinkan individu mencapai pemahaman bersama tanpa paksaan. Diskursus yang rasional ini berlawanan dengan bentuk komunikasi yang manipulatif, di mana satu pihak mendominasi narasi dan menghambat partisipasi yang setara. Dalam konteks politik dan sosial, diskursus yang sehat memungkinkan demokrasi berjalan dengan baik.
  2. Empat Klaim Validitas dalam Komunikasi: Habermas mengidentifikasi empat klaim validitas yang harus dipenuhi agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan rasional:
    1. Klaim Kebenaran: Pernyataan yang dibuat dalam komunikasi harus memiliki dasar empiris atau logis dalam realitas alamiah.
    2. Klaim Ketepatan: Setiap argumen harus selaras dengan norma sosial yang berlaku dan diterima dalam masyarakat.
    3. Klaim Keautentikan: Ekspresi diri dalam komunikasi harus mencerminkan niat yang tulus dan tidak manipulatif.
    4. Klaim Komprehensibilitas: Pesan yang disampaikan harus jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam komunikasi.

Individu atau kelompok yang mampu memenuhi keempat klaim ini dianggap memiliki kompetensi komunikatif, yaitu kemampuan untuk berpartisipasi dalam diskursus dengan cara yang adil dan rasional.

4. Kritik Habermas terhadap Modernisme: Dalam karyanya, Habermas juga mengkritik modernisme yang dianggapnya belum selesai (unfinished project). Ia berpendapat bahwa proyek modernitas, yang seharusnya membawa kebebasan, rasionalitas, dan kemajuan sosial, justru terhambat oleh sistem yang masih bersifat dominatif dan instrumental. Rasionalitas yang berkembang dalam masyarakat modern cenderung terjebak dalam logika teknokratis dan ekonomi, sehingga mengabaikan aspek komunikatif yang lebih esensial dalam kehidupan sosial.

F. Jean-François Lyotard: Keberagaman Penalaran

Jean-François Lyotard adalah seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan kritiknya terhadap modernisme dan konsep “narasi besar” (grand narratives). Dalam karyanya The Postmodern Condition (1984), ia berargumen bahwa modernisme sering kali mengklaim adanya kebebasan dan kemajuan secara mutlak, tetapi dalam praktiknya justru membentuk struktur kekuasaan yang mendominasi.

Lyotard (1984) menolak narasi besar modernisme yang mengklaim kebebasan dan kemajuan secara mutlak. Ia memperluas kepekaan terhadap perbedaan dan menekankan pentingnya toleransi terhadap berbagai pendirian kebenaran. Menurutnya, penalaran tidak boleh bersifat monolitik. Jika satu kebenaran tunggal dijadikan dasar kekuasaan totalitas, maka keberadaan penalaran itu sendiri akan tereduksi. Oleh karena itu, “wujud” dan “pengalaman sensual” individu harus diakomodasi melalui platform yang tidak didominasi oleh satu visi institusional. Lyotard, J-F. (1984): Dalam The Postmodern Condition, ia menolak “narasi besar” (grand narratives) seperti ilmu pengetahuan absolut, menekankan kebenaran sebagai konstruksi lokal. Jean-François Lyotard menegaskan bahwa modernisme telah gagal memenuhi janji kebebasannya karena masih mempertahankan struktur kekuasaan melalui narasi besar. Sebagai solusi, ia mengusulkan postmodernisme yang lebih terbuka terhadap keberagaman penalaran dan menolak klaim kebenaran tunggal. Dengan demikian, masyarakat yang lebih adil dan inklusif dapat dibangun melalui pengakuan terhadap berbagai bentuk pengetahuan dan pengalaman manusia.

  1. Kritik terhadap Narasi Besar: Lyotard menolak gagasan bahwa ada satu kebenaran universal yang dapat menjelaskan semua aspek kehidupan. Menurutnya, narasi besar seperti ilmu pengetahuan absolut, ideologi politik, dan agama universal cenderung memaksakan satu sudut pandang yang menekan keberagaman perspektif. Dengan kata lain, modernitas telah menciptakan sistem berpikir yang monolitik dan hegemonik, yang berupaya mengesahkan dirinya sendiri sebagai satu-satunya cara berpikir yang sah. Sebagai contoh, klaim bahwa ilmu pengetahuan dapat memberikan penjelasan menyeluruh tentang dunia sebenarnya adalah bentuk narasi besar yang mengabaikan cara lain dalam memahami realitas, seperti pengalaman subjektif, seni, atau spiritualitas.
  2. Keberagaman Penalaran dan Konstruksi Kebenaran Lokal: Sebagai alternatif terhadap narasi besar, Lyotard menekankan bahwa kebenaran bersifat lokal dan kontekstual. Tidak ada satu standar universal yang bisa menentukan kebenaran secara mutlak; sebaliknya, setiap komunitas atau individu memiliki cara sendiri dalam memahami dan menafsirkan dunia. Konsep ini juga berkaitan dengan pluralisme pengetahuan—berbagai bentuk pengetahuan (sains, seni, mitos, pengalaman pribadi) harus diakui sebagai valid dalam konteksnya masing-masing. Dengan demikian, penalaran tidak boleh dipaksakan dalam satu kerangka berpikir tunggal, tetapi harus terbuka terhadap berbagai perspektif.
  3. Implikasi dalam Sosial dan Politik: Dalam dunia sosial dan politik, kritik Lyotard terhadap narasi besar menunjukkan pentingnya toleransi dan keberagaman pendirian. Jika hanya satu versi kebenaran yang diakui, maka akan muncul bentuk-bentuk dominasi yang menekan kelompok lain. Oleh karena itu, sistem sosial yang sehat harus memberikan ruang bagi “wujud” dan “pengalaman sensual” individu serta komunitas yang beragam, tanpa dikendalikan oleh satu visi institusional yang kaku. Misalnya, dalam sistem pendidikan, pendekatan yang terlalu mengutamakan metode saintifik atau logika rasional sebagai satu-satunya cara memahami dunia dapat mengabaikan dimensi budaya, emosional, dan estetika dari pembelajaran.

G. Jean Baudrillard: Simulasi dan Simulakra

Baudrillard (Baudrillard, J. 1981) mengkritik fenomena simulasi dan simulakra, di mana representasi objek sering kali lebih diutamakan daripada objek itu sendiri. Proses simulasi—yang menghasilkan duplikasi realitas yang tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan—dapat mengaburkan makna yang sesungguhnya. Kritik Baudrillard diarahkan pada manipulasi kultural oleh kekuasaan, sehingga menghasilkan hiperrealitas yang menyebabkan massa kehilangan identitas dan jati diri.

Jean Baudrillard mengembangkan konsep simulakra dalam teorinya tentang hiperrealitas. Simulakra adalah representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi justru menciptakan realitasnya sendiri. Baudrillard mengidentifikasi empat tahap simulasi dalam perkembangan representasi:

  • Cerminan realitas – Representasi masih merujuk pada dunia nyata.
  • Menutupi dan merusak realitas – Representasi mulai mengaburkan realitas yang sebenarnya.
  • Menggantikan realitas – Representasi mulai berdiri sendiri tanpa perlu realitas sebagai acuannya.
  • Simulakra murni – Representasi menjadi sepenuhnya terputus dari realitas dan hanya merujuk pada dirinya sendiri.

Dalam dunia modern, simulakra sering muncul dalam bentuk media, iklan, dan budaya pop, di mana realitas menjadi kabur dan digantikan oleh citra yang lebih dipercaya daripada kenyataan itu sendiri. Contohnya adalah dunia hiburan, politik, dan konsumsi yang didominasi oleh simbol-simbol tanpa referensi ke realitas konkret. Baudrillard, J. (1981): Konsep simulasi dan hiperrealitas Baudrillard mengkritik budaya konsumerisme modern.

H. Fredric Jameson: Kelanjutan Sejarah Modernisme dan Budaya Pastiche

Fredric Jameson adalah seorang teoretikus budaya yang berfokus pada hubungan antara modernisme, postmodernisme, dan kapitalisme. Dalam analisisnya, ia menolak pandangan bahwa postmodernisme adalah sebuah pemutusan total dari modernisme. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai kelanjutan sejarah modernisme, tetapi dalam bentuk yang telah mengalami transformasi akibat perubahan sosial dan ekonomi.

Fredric Jameson (Jameson, F. 1991), berargumen bahwa periode historis saat ini bukanlah pemutusan dengan masa lalu, melainkan merupakan kelanjutan dari modernisme. Menurutnya, modernisme yang besar didasarkan pada gaya yang bersifat personal, sehingga subjek individual borjois menjadi mitos yang tidak pernah benar-benar ada. Akibatnya, yang tersisa hanyalah pastiche—tiruan gaya yang telah mati—sebagai cerminan pengalaman schizofrena Lacan, di mana kondisi material menjadi terpisah dan terisolasi. Fredric Jameson menegaskan bahwa postmodernisme bukanlah era baru yang benar-benar lepas dari modernisme, tetapi merupakan kelanjutannya dalam kondisi kapitalisme lanjut. Dengan dominasi pastiche dan fragmentasi historis, masyarakat kehilangan kedalaman dan kesadaran kritis terhadap sejarah. Postmodernisme, dalam pandangan Jameson, adalah refleksi dari dunia di mana segala sesuatu telah menjadi komoditas, dan budaya hanya menjadi bagian dari mesin konsumsi global.

  1. Modernisme sebagai Gaya yang Bersifat Personal: Jameson menyoroti bahwa modernisme klasik sering kali dikaitkan dengan ekspresi individu yang autentik dan personal. Namun, menurutnya, konsep “subjek individual borjuis” yang menjadi dasar modernisme sebenarnya adalah mitos—sebuah konstruksi sosial yang tidak pernah benar-benar ada dalam bentuk murninya. Dalam dunia kapitalisme lanjut, keaslian individu menjadi ilusi, karena setiap ekspresi sudah dikomodifikasi dan diinternalisasi dalam sistem produksi budaya. Oleh karena itu, yang disebut sebagai “modernisme besar” hanyalah sebuah tahap dalam sejarah yang akhirnya digantikan oleh fenomena baru.
  2. Pastiche sebagai Ciri Khas Postmodernisme: Salah satu konsep utama dalam pemikiran Jameson adalah pastiche, yaitu bentuk tiruan atau peniruan gaya yang telah mati, tetapi tanpa adanya makna atau ironi yang kritis. Berbeda dengan parodi yang memiliki unsur kritik terhadap objek yang ditiru, pastiche hanya meniru gaya secara mekanis tanpa memberikan makna baru. Misalnya, dalam dunia seni dan budaya, kita melihat banyak film, musik, dan mode yang mengambil gaya dari masa lalu tanpa memberikan konteks atau kritik terhadapnya. Contohnya adalah tren retro dan vintage, di mana estetika dari dekade sebelumnya dihidupkan kembali tetapi kehilangan makna historisnya. Jameson melihat pastiche sebagai refleksi dari kondisi schizofrena dalam teori Lacan, di mana individu mengalami keterputusan dengan sejarah dan realitas material. Akibatnya, masyarakat postmodern tidak memiliki kesadaran historis yang kuat dan cenderung mengalami fragmentasi identitas.
  3. Kapitalisme Lanjut dan Postmodernisme: Jameson menghubungkan fenomena postmodernisme dengan kapitalisme lanjut (late capitalism), di mana segala sesuatu—termasuk seni, budaya, dan identitas—menjadi bagian dari sistem ekonomi global yang mendorong konsumsi tanpa henti. Dalam kondisi ini, budaya tidak lagi memiliki kedalaman atau kritik sosial, melainkan hanya berfungsi sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi secara massal. Contoh nyata dari hal ini adalah budaya populer dan media massa, yang sering kali hanya mendaur ulang elemen-elemen dari masa lalu tanpa memberikan inovasi konseptual yang berarti. Film-film blockbuster, misalnya, sering kali mengandalkan sekuel, reboot, atau referensi budaya yang tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru.

I. Anthony Giddens: Strukturasi dalam Tindakan Sosial

Anthony Giddens adalah seorang sosiolog yang dikenal dengan teori strukturasi, yang menolak pandangan dikotomis antara struktur fungsionalisme dan konstruksionisme fenomenologis. Ia berpendapat bahwa struktur sosial dan tindakan individu tidak dapat dipisahkan, melainkan saling membentuk dalam sebuah hubungan dialektis.

Anthony Giddens (Giddens, A. 1990) menolak dualisme yang memisahkan struktur fungsional dengan konstruksionisme fenomenologis. Ia berpendapat bahwa struktur sosial tidak bersifat eksternal, melainkan merupakan bagian dari diri individu yang memiliki otonomi untuk mengontrol dan mereproduksi struktur tersebut. Struktur sosial, menurut Giddens, tidak hanya membatasi (constraint) tetapi juga membebaskan (enabling) individu, karena setiap tindakan manusia—walaupun disengaja—menghasilkan konsekuensi yang tidak terduga dan membentuk aktivitas sosial secara berkelanjutan. Giddens (1990): Teori strukturasi Giddens menekankan dualitas struktur dan agensi dalam memahami perubahan sosial.

Anthony Giddens, melalui teori strukturasi, menjelaskan bahwa struktur sosial bukanlah sesuatu yang mengikat dan membatasi individu secara mutlak, tetapi juga memberikan ruang bagi individu untuk bertindak dan menciptakan perubahan. Tindakan individu dan struktur sosial selalu berada dalam hubungan timbal balik, di mana individu terus mereproduksi, mengubah, dan menafsirkan struktur sosial dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Dualitas Struktur: Struktur Bukan Sekadar Pembatas: Salah satu konsep utama dalam teori strukturasi adalah “dualisme struktur”, di mana Giddens menolak gagasan bahwa struktur sosial bersifat eksternal dan menekan individu. Sebaliknya, ia memperkenalkan konsep “dualisme struktur”, yaitu bahwa:
  1. Struktur sosial tidak hanya membatasi (constraint), tetapi juga membebaskan (enabling) individu.
  2. Individu tidak pasif terhadap struktur sosial, melainkan memiliki kapasitas untuk mengontrol, mereproduksi, dan mengubah struktur tersebut.

Misalnya, dalam sistem pendidikan, aturan dan kurikulum yang ditetapkan oleh institusi pendidikan memang membentuk perilaku siswa dan guru. Namun, pada saat yang sama, siswa dan guru juga dapat menafsirkan, menegosiasikan, atau bahkan mengubah sistem tersebut melalui tindakan mereka.

2. Struktur dan Agensi dalam Perubahan Sosial: Dalam teori klasik sosiologi, struktur sering dianggap sebagai sesuatu yang tetap dan mempengaruhi individu dari luar (misalnya, dalam teori fungsionalisme Parsons). Sebaliknya, teori strukturasi Giddens menekankan bahwa struktur sosial bukanlah sesuatu yang statis, tetapi selalu dalam proses reproduksi oleh individu. Setiap tindakan individu tidak hanya merupakan hasil dari struktur sosial yang ada, tetapi juga berkontribusi dalam mempertahankan atau mengubah struktur tersebut. Oleh karena itu:

  1. Struktur sosial ada karena terus direproduksi oleh individu melalui praktik sosial.
  2. Individu memiliki agensi (kemampuan bertindak) yang memungkinkan perubahan sosial.

Misalnya, dalam sistem ekonomi, aturan-aturan tentang kerja dan bisnis bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan terus berubah karena interaksi antara individu, perusahaan, dan kebijakan pemerintah.

3. Konsekuensi Tidak Terduga dalam Tindakan Sosial: Giddens juga menyoroti bahwa meskipun individu memiliki intensi atau niat dalam bertindak, setiap tindakan akan menghasilkan konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences). Ini berarti bahwa perubahan sosial sering kali terjadi secara tidak langsung akibat dari akumulasi berbagai tindakan individu. Contoh konkret dari hal ini adalah perkembangan teknologi dan media sosial. Awalnya, internet diciptakan untuk tujuan komunikasi dan akses informasi. Namun, dalam perkembangannya, media sosial justru mengubah cara manusia berinteraksi, menciptakan budaya baru, bahkan menimbulkan dampak politik seperti kampanye digital dan disinformasi.

4. Implikasi Teori Strukturasi dalam Analisis Sosial: Teori strukturasi Giddens memberikan pendekatan yang lebih dinamis dalam memahami masyarakat, karena tidak hanya melihat individu sebagai aktor bebas atau hanya sebagai produk dari struktur sosial. Dalam analisis perubahan sosial, teori ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti:

  1. Kajian politik: Bagaimana individu dan kelompok sosial berperan dalam mengubah kebijakan negara.
  2. Studi organisasi: Bagaimana pekerja tidak hanya mengikuti aturan perusahaan, tetapi juga bisa membentuk budaya kerja baru.
  3. Transformasi budaya: Bagaimana interaksi sosial dalam era digital mengubah norma dan nilai dalam masyarakat.

J. Antonio Gramsci: Hegemoni dan Persetujuan Sosial

Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Italia, mengembangkan konsep hegemoni sebagai cara memahami bagaimana kekuasaan dipertahankan tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan sosial. Bagi Gramsci, hegemoni bukan hanya soal dominasi melalui kekuatan militer atau ekonomi, tetapi lebih kepada kepemimpinan politik dan ideologis yang melibatkan seluruh masyarakat.

Bagi Antonio Gramsci, hegemoni bukan sekadar dominasi melalui kekuatan, melainkan hubungan persetujuan yang melibatkan kepemimpinan politik dan ideologis. Gramsci menegaskan bahwa suatu kelas tidak dapat mencapai kepemimpinan nasional jika hanya mengutamakan kepentingan sempitnya; kelas tersebut harus merangkul tuntutan dan perjuangan masyarakat luas. Dalam kerangka ini, peran kaum intelektual—yang mencakup tidak hanya pemikir dan seniman, tetapi juga pegawai negeri serta ahli teknis—sangat krusial untuk mengorganisasikan civil society dan political society sehingga tercipta suatu “negara integral.” Hegemoni, menurut Gramsci, merupakan kemenangan kelas yang diperoleh melalui mekanisme konsensus sosial-politik, yang pada akhirnya akan membuka peluang bagi perubahan sosial melalui kesadaran kolektif.

Antonio Gramsci melihat hegemoni sebagai bentuk kepemimpinan ideologis yang membuat suatu kelas sosial dapat mempertahankan kekuasaannya tanpa perlu menggunakan kekerasan langsung. Hegemoni ini dibangun melalui kombinasi antara political society dan civil society, dengan peran kaum intelektual sebagai mediator utama. Perubahan sosial, menurut Gramsci, tidak hanya bergantung pada revolusi ekonomi atau politik, tetapi juga harus melalui perjuangan budaya dan kesadaran kolektif untuk menciptakan hegemoni tandingan.

  1. Hegemoni: Kekuasaan Melalui Konsensus, Bukan Paksaan: Gramsci membedakan antara dominasi (penggunaan kekuatan atau paksaan) dan hegemoni (pengaruh ideologis yang diterima secara sukarela). Dalam sistem hegemonik, kelas penguasa tidak hanya memaksakan kepentingannya, tetapi juga mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok sosial melalui institusi seperti sekolah, media, agama, dan budaya. Hegemoni ini memungkinkan kelas dominan mengendalikan pemikiran dan nilai-nilai masyarakat tanpa harus menggunakan kekerasan secara langsung. Dengan kata lain, hegemoni adalah kekuasaan yang diterima sebagai sesuatu yang “alami” dan “normal” oleh masyarakat, meskipun sebenarnya merupakan hasil konstruksi sosial. Sebagai contoh, dalam kapitalisme modern, gagasan tentang kerja keras sebagai kunci kesuksesan sering kali diterima tanpa pertanyaan. Padahal, sistem ini juga dapat menyembunyikan ketimpangan ekonomi dan eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan oleh kelas pemilik modal.
  2. Peran Kaum Intelektual dalam Membangun Hegemoni: Gramsci menekankan bahwa intelektual bukan hanya akademisi atau cendekiawan, tetapi juga semua individu yang memiliki peran dalam membentuk dan menyebarkan ide-ide sosial. Ia membagi intelektual menjadi dua jenis:
  1. Intelektual tradisional: Orang-orang yang dianggap memiliki peran intelektual sejak lama, seperti pendeta, guru, dan filsuf.
  2. Intelektual organik: Orang-orang yang muncul dari kelas sosial tertentu dan menjadi bagian dari perjuangan kelas tersebut. Mereka tidak hanya berpikir, tetapi juga berperan dalam membentuk kesadaran politik dan sosial masyarakat.

Dalam konteks ini, media, pendidik, dan pegawai negeri memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan mempertahankan atau menantang hegemoni yang ada. Misalnya, dalam sistem politik modern, media massa dapat digunakan untuk mempertahankan status quo dengan membentuk narasi tertentu, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mengkritik dan menantang sistem yang ada.

3. Civil Society dan Political Society dalam Negara Integral: Gramsci membagi negara menjadi dua bagian:

  1. Political society (masyarakat politik) – mencakup institusi negara seperti pemerintahan, militer, dan hukum yang menggunakan kekuatan untuk mengendalikan masyarakat.
  2. Civil society (masyarakat sipil) – mencakup organisasi non-pemerintah seperti media, agama, serikat pekerja, dan institusi pendidikan yang membentuk opini publik dan nilai-nilai sosial.

Menurut Gramsci, negara yang kuat harus membangun negara integral, di mana hegemoni kelas dominan diterima oleh masyarakat luas melalui kombinasi political society dan civil society. Jika civil society tidak dapat dikendalikan, maka kelas penguasa harus menggunakan dominasi untuk mempertahankan kekuasaannya, yang pada akhirnya dapat memicu perlawanan.

4. Hegemoni dan Perubahan Sosial: Gramsci percaya bahwa perubahan sosial tidak bisa hanya mengandalkan revolusi fisik, tetapi juga harus melalui perjuangan ideologis dalam masyarakat sipil. Perubahan sosial terjadi ketika masyarakat mulai mempertanyakan dan menantang hegemoni yang ada. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun “hegemoni tandingan” (counter-hegemony), yaitu alternatif pemikiran yang menantang nilai-nilai dominan yang telah mapan. Dalam hal ini, kaum intelektual organik dan kelompok sosial yang sadar akan ketimpangan harus mengorganisir diri untuk mengubah kesadaran kolektif dan membangun tatanan baru. Sebagai contoh, gerakan sosial seperti feminisme, hak-hak buruh, dan gerakan lingkungan hidup sering kali berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme dan patriarki yang mengakar dalam masyarakat.

Kepustakaan

Barthes, R. (1957). Mythologies. Éditions du Seuil.

Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.

Derrida, J. (1978). Of Grammatology. Johns Hopkins University Press.

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge. Pantheon Books.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Stanford University Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism. Duke University Press.Lyotard, J-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. University of Minnesota Press.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top