POSTMODERNISME: Kebenaran Kontekstual dan Kritik atas Absolutisme

mohamadnizar@manggala.ac.id

mohamadnizar@gurukedua.com

mohamadnizar@gmail.com

https://jurnal.manggala.ac.id

A. Pengantar
Postmodernisme menegaskan bahwa pemahaman kebenaran ilmiah bersifat dinamis, tidak pernah final, dan selalu terikat konteks historis, budaya, serta sosial. Menurut perspektif ini, kebenaran bukanlah entitas tunggal yang absolut, melainkan hasil interpretasi yang terus berkembang antara pemahaman lama dan baru. Kebenaran “terkini” bukanlah final, melainkan akan terus direkonstruksi oleh generasi berikutnya dalam proses tak berujung (Lyotard, 1984). Pemikiran ini menolak generalisasi, universalisasi, atau absolutisme kebenaran karena dianggap menegasikan keragaman perspektif lain yang berpotensi valid. Sebagai gantinya, postmodernisme mengajak manusia untuk terus belajar, merefleksikan pengalaman, dan mengintegrasikan rasio, empirisme, intuisi, serta teks-teks sakral (jika relevan) guna menghasilkan pemahaman baru yang orisinal. Proses ini diarahkan untuk menciptakan inovasi berkelanjutan demi kesejahteraan manusia (Foucault, 1980; Derrida, 1978).

Postmodernisme menolak kebenaran tunggal, tetapi bukan berarti menolak kebenaran hakiki seperti dalam agama yang menggunakan logika spiritualisme-transendentalisme (faith). Yang ditolak oleh postmodernisme adalah paham pluralisme berpikir yang menganggap bahwa semua pandangan memiliki peluang kebenaran yang sama. Pluralisme dalam berpikir sering digunakan untuk menyusun skenario-skenario dan opsi-opsi temuan serta penyelesaian masalah. Sebaliknya, positivisme-modernisme pada awal masa Renaissance cenderung berpihak pada kebenaran mayoritas, yang dimaknai sebagai kebenaran tunggal dan “pasti” menurut sains. Renaissance adalah gerakan perubahan besar di Eropa yang terjadi setelah abad pertengahan. Istilah Renaissance berasal dari bahasa Latin renaitre, yang terdiri dari dua kata: re (kembali) dan naitre (lahir). Dengan demikian, Renaissance dapat diterjemahkan sebagai masa kelahiran kembali yang terjadi antara abad ke-14 hingga ke-17. Ciri utama Renaissance adalah:

  1. Humanisme: Memanusiakan manusia dan menempatkan manusia sebagai pusat pemikiran.
  2. Empirisme: Kebebasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui observasi dan eksperimen.
  3. Rasionalisme: Kebebasan dalam mengembangkan pikiran dan logika.

Sains, agama, dan seni memiliki logika dan tujuan yang berbeda, namun dapat diarahkan untuk mencapai satu titik temu konseptual tentang ketuhanan, baik secara sengaja maupun kebetulan (koinsidensial) dalam perjalanan waktu dan usia.

  1. Sains dengan Logika Positivisme: Kebenaran dalam sains bersifat nisbi (relatif) dan terus berkembang. Postpositivisme dan postmodernisme menolak kebenaran tunggal, menekankan bahwa kebenaran adalah konstruksi yang kontekstual dan dinamis (Lyotard, 1984).
  1. Agama dengan Logika Spiritualisme-Transendentalisme: Agama mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) melalui keyakinan (faith) dan pengalaman spiritual. Kebenaran dalam agama bersifat absolut dan transenden, melampaui batas-batas empiris dan rasional (Smith, 1991).
  1. Seni dengan Logika Estetik: Seni adalah ekspresi keindahan yang menjadi implikasi dari sains dan agama. Melalui estetika, seni menghubungkan dimensi rasional, spiritual, dan emosional dalam memahami realitas (Gadamer, 1975).

Masing-masing bidang memiliki metode sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya dapat bertemu dalam satu konsep tentang ketuhanan, baik secara disengaja maupun tidak.

B. Sejarah dan Kontribusi Postmodernisme dalam Metodologi Riset

Postmodernisme menawarkan pendekatan kualitatif yang holistik, seperti etnografi kritis, analisis wacana, dan studi budaya. Metode ini menolak objektivitas semu dan mengakui peran peneliti sebagai subjek yang terlibat dalam konstruksi makna (Denzin & Lincoln, 2005). Dengan demikian, postmodernisme dan positivisme merepresentasikan dua kutub epistemologis: yang satu merayakan relativitas kontekstual, sementara yang lain mencari kepastian melalui empirisme terstruktur. Keduanya memberikan kontribusi unik dalam perkembangan metodologi ilmu pengetahuan.

Postmodernisme bermula pada 1930-an ketika Federico de Onis menunjukkan antipatinya terhadap kemapanan (anti-mainstream), yang memicu reaksi dari modernisme. Sejak itu, postmodernisme berkembang di berbagai bidang dan mengkritik modernisme secara internal. Modernisme dalam paradigma positivisme berakar pada pemikiran bahwa ilmu pengetahuan (sains) harus bersifat pasti, seperti ilmu-ilmu alam. Auguste Comte, bapak positivisme, berani memasukkan sosiologi sebagai bagian dari sains, menciptakan percabangan dalam positivisme. Namun, positivisme berada di persimpangan jalan antara kepastian dan ketidakpastian, terutama ketika diterapkan dalam ilmu sosial dan humaniora. Jika ilmu sosial-humaniora masih mengadopsi, mengadaptasi, menyerap, atau meminjam metode ilmu alam, bidang tersebut tidak sepenuhnya menjadi sains, melainkan bersifat saintifik. Spekulasi semacam ini membantu menentukan proposisi sebagai kerangka analitik-teoretik dalam riset. Paradigma riset menjadi jelas: deduktif-kuantitatif (deducto-hypothetico-verifikatif) dan induktif-kualitatif (inductive-assumptive-generalization), bahkan dapat dikombinasikan. Statistika, logika, matematika, seni, dan ilmu humaniora menemukan tempatnya dalam metodologi riset. Pendekatan ini menjadi dasar untuk merayakan postmodernisme-postpositivisme tanpa terjebak dalam fanatisme buta.

C. Pendekatan Postmodernisme dan Postpositivisme dalam Metodologi Riset

Postmodernisme menawarkan pendekatan kualitatif yang holistik, seperti etnografi kritis, analisis wacana, dan studi budaya. Metode ini menolak objektivitas semu dan mengakui peran periset sebagai subjek yang terlibat dalam konstruksi makna (Denzin & Lincoln, 2005). Dengan demikian, postmodernisme dan postpositivisme memberikan alternatif terhadap keterbatasan modernisme, membuka ruang bagi keberagaman pemikiran dan metodologi dalam memahami kompleksitas kehidupan.

Namun, postpositivisme dan postmodernisme tidak benar-benar terpisah dari positivisme dan modernisme. Paradigma berpikir dalam kerangka positivisme-modernisme terus berkembang, dan postpositivisme serta postmodernisme merupakan respons terhadap keterbatasan positivisme. Pendekatan ini menawarkan metodologi yang lebih fleksibel dan inklusif (Guba & Lincoln, 1994). Oleh karena itu, krusial untuk kembali ke filsafat epistemologi guna menemukan pendekatan yang lebih relevan dan holistik, terutama ketika objek riset tidak dapat dipecahkan oleh metode positivistik yang dianggap mapan. Hasil riset harus memiliki nilai fungsional dan dapat digunakan untuk menentukan kebijakan strategis. Sebagai contoh, pengalaman penulis dalam pemodelan mutasi pegawai dari Kabupaten Bandung ke Bandung Barat serta dari Kabupaten Serang ke Kota Serang menunjukkan perlunya kebijaksanaan dalam menentukan metode riset, mengingat keunikan dari peristiwa tersebut. Dalam situasi seperti ini, pemikiran para filsuf yang concern terhadap fenomena kekinian yang komplek menjadi sangat relevan dalam mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam.

  1. Peran Statistika

Statistika memegang peranan penting dalam riset, terutama dalam pendekatan induktif-kualitatif. Kesalahan dalam penerapan metode statistik dapat membuat riset dianggap tidak valid atau bahkan dipersepsikan sebagai kesalahan fatal, baik dalam konteks akademis maupun praktis. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah:

  1. Fenomena Intangible: Isu atau fenomena yang bersifat intangible (tidak berwujud) tidak dapat dipaksakan untuk dikuantifikasi menggunakan metode statistik. Pendekatan yang lebih sesuai, seperti fenomenologi atau etnografi, harus dipertimbangkan.
  2. Azas Positivisme: Dalam positivisme, matematika bersifat deduktif (pasti), sedangkan statistika bersifat induktif (berbasis sampel dan generalisasi).

Statistika hadir untuk menjembatani kegamangan dalam ilmu sosial yang memerlukan kuantifikasi, seperti dalam studi fenomenologi dan etnologi. Namun, ilmu alam juga membutuhkan statistika sebagai teknik analisis data, misalnya dalam pengambilan sampel populasi untuk menguji kadar omega pada ikan air tawar atau pengujian ketidakbocoran tangki pengolah susu serbuk menggunakan sinar-X.

2. Teknik dalam Riset Positivistik

Metode riset tidak serta-merta menentukan teknik analisis data yang digunakan. Berdasarkan frame of experience, teknik yang digunakan dalam riset harus sesuai dengan metode yang diterapkan. Teknik dalam riset akan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan aspek operasional, yang mencerminkan usaha peneliti dalam menganalisis data dan informasi. Teknik operasional adalah implementasi dari metode yang telah ditetapkan, terdiri dari seperangkat instrumen, dan dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan waktu dan biaya.

  1. Dinamika Teknik Analisis Data: Kompleksitas teknik analisis data tercermin dari metode yang digunakan untuk menjawab hipotesis, asumsi, atau riset tanpa hipotesis (grounded research).
  2. Kajian Kuantitatif dan Kualitatif: Riset kuantitatif menggunakan parameter, sedangkan riset kualitatif tidak. Keduanya dapat dikombinasikan dalam pendekatan mixed methods.
  3. Pendekatan Inter/Multidisipliner: Pada tahap ini, peneliti dapat menggunakan pendekatan dyadic, hybrid, blended research, interdisipliner, multidisipliner, Centre Group Discussion (CGD), atau Focus Group Discussion (FGD).

Permasalahan dalam peristiwa, isu, atau fenomena seringkali tidak dapat dikaji hanya dengan satu prinsip/teori, pendekatan, metode, atau teknik. Pada tahap teknik operasional inilah terjadi siasat dinamis untuk memperoleh simpulan yang mendekati model blended, sehingga menghasilkan analisis yang lebih komprehensif.

3. Analisis Kontekstual dan Kritik dalam Postmodernisme

Kekhawatiran sering muncul ketika menerapkan analisis kontekstual dan kritik, terutama karena objek kajian sering berada di persimpangan tiga bidang pengetahuan: sains, sosial, dan humaniora. Ketiganya harus diurai satu per satu terlebih dahulu dalam kerangka positivisme. Analisis kritik dan kontekstual merupakan dua hal yang saling terkait (embedded atau samenvallen) dan tidak dapat dipisahkan dalam model berpikir postmodernisme. Hal ini menjadi tantangan berat jika kita tidak dilatih prinsip-prinsipnya terlebih dahulu dalam merancang sebuah karya.

Analisis kontekstual adalah upaya untuk menganalisis rangkaian makna yang koherensif (tidak terpisahkan) dan kohesif (bersatu) dalam sebuah karya. Analisis ini dipengaruhi oleh kondisi si “pekarya” saat mendesain karyanya. Dengan demikian, akan terlihat apakah karya tersebut memiliki manfaat atau fungsi yang jelas atau tidak.

  1. Karya di Luar Bahasa: Analisis kontekstual didasarkan pada situasi saat karya itu dirancang (Siyâq al-Hâl).
  2. Karya dalam Bahasa: Analisis kontekstual bergantung pada rangkaian kalimat (siyâq lughâwi).

Analisis kontekstual mencakup upaya memahami makna situasi yang terkait dengan suatu kejadian, termasuk kondisi psikologis si “pekarya”, tempat, waktu, dan segala sesuatu yang terlibat dalam diskursus atau wacana karyanya. Konteks memegang peranan penting dalam analisis karya, dengan empat unsur sebagai kriteria:

  1. Konteks Struktur Fisikal/Material: Berkaitan dengan bentuk fisik atau material karya.
  2. Konteks Emosional: Berkaitan dengan perasaan atau emosi yang melatarbelakangi karya.
  3. Konteks Situasi dan Kondisi: Berkaitan dengan keadaan saat karya diciptakan.
  4. Konteks Sosio-Kultural: Berkaitan dengan latar belakang sosial dan budaya si “pekarya”.

Keempat unsur ini merupakan perwujudan konsep bermakna yang tidak terlepas dari hubungan intratekstual (dalam teks) maupun ekstratekstual (luar teks) dalam karya tersebut. Dengan demikian, suatu karya mengisyaratkan makna secara kontekstual inter/multidimensional.

4. Teks dan Keambiguan dalam Analisis Kontekstual

Secara sederhana, teks dapat diartikan sebagai “rajutan,” “jalinan,” “untaian,” atau “untunan.” Dalam konteks yang lebih luas, “ko-teks” menyiratkan hubungan saling keterikatan dalam suatu karya, sehingga apabila karya tersebut diurai, setiap bagiannya akan menunjukkan ciri khas tersendiri. Sebagai ilustrasi, bayangkan kain tekstil bermotif kotak-kotak putih dan hitam, yang bila diurai, terdiri atas benang hitam dan putih. Penafsiran teks bermula dari kegelisahan seorang pembelajar yang berusaha memahami, memaknai, atau mengartikan suatu karya—misalnya, sebuah karya arsitektur. Seorang penafsir arsitektur dituntut menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fisika, sosiologi, dan humaniora, agar dapat menyatukan aspek sejarah, masyarakat, seni, keagamaan, serta norma dan adat istiadat ke dalam satu “teks” yang utuh.

Analisis kontekstual inter/multidimensional tidak selalu mulus dalam keempat unsur/kriteria tersebut. Seringkali muncul keambiguan yang sebenarnya bukan sesuatu yang absurd. Keambiguan ini dapat diatasi melalui analisis kritik dengan teknik dyad dan hybrid, serta pendekatan kritik ala para filsuf postmodernis: Derrida: Memainkan persepsi harmoni biner melalui dekonstruksi; Foucault: Memainkan imajinasi kegilaan nirrasio untuk membongkar relasi kuasa; Habermas: Memainkan argumentasi komunikasi sosial dalam ruang public; Barthes: Memainkan mitos dan ideologi untuk mengungkap makna tersembunyi; dan Lyotard: Memainkan penglihatan untuk analisis wujud dan pengalaman sensual.

5. Pendekatan Dyad dan Hybrid

Dyad merupakan teknik berpikir kritis kontekstual yang mengharmonisasikan dua pemikiran yang berlawanan tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing. Pendekatan ini memungkinkan keunggulan yang selama ini terpinggirkan oleh kekuasaan diangkat menjadi inovasi baru. Dengan memanfaatkan imajinasi ala Foucault, kita dapat mengeksplorasi kontras antara ‘manis’ dan ‘pahit’ atau antara ‘kuat’ dan ‘lemah.’ Misalnya, meskipun manis identik dengan keindahan dan pahit dengan kesengsaraan, perlu dikaji apakah sisi pahit dapat menghasilkan keindahan. Dalam konteks keluarga, peran kepala keluarga yang kuat dapat diimbangi dengan kelembutan istri dalam mendidik anak, sehingga peran tradisional tetap dihargai namun tidak kaku.

Berbeda dengan dyad yang hanya mengharmoniskan dua unsur, pendekatan hybrid menyilangkan keunggulan dari dua atau lebih karakter yang berbeda dalam satu kesatuan struktur. Penyilangan ini harus dilakukan dengan cermat, memperhatikan karakteristik fisik, lingkungan alam, dan perilaku sosial yang selama ini terpisah secara kronologis maupun geografis. Proses ini dapat diwujudkan melalui teknik mengutip, memindahkan, merombak, atau menyusun kembali elemen-elemen secara kontekstual. Pendekatan hybrid, dengan memadukan imajinasi ala Foucault dan dekonstruksi ala Derrida, berupaya menggeser posisi elemen yang selama ini dianggap lemah menjadi elemen inti, asalkan dilakukan dengan tetap menghormati keteraturan struktur yang ada.

Perbandingan Positivisme dan Pendekatan Kualitatif

AspekPositivismePendekatan Kualitatif
SifatAtomistik, parsimoniHolistik, general
FokusKepastian, verifikasiPenalaran multidimensional
MetodeDeduktif-Kuantitatif, Induktif-KuantitatifInduktif-Kualitatif, Deduktif-Kualitatif
Teknik AnalisisMatematika, statistikKuantifikasi statistik, FGD, CGD
Tujuan SimpulanPembuktian hipotesisSkenario pemecahan masalah, penyajian data
  1. Kritik dan Refleksi dalam Metodologi Riset

Terdapat ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilah dan alur logika dalam berbagai pendekatan riset. Misalnya, penggunaan teknik statistik dalam riset kualitatif perlu diklarifikasi, mengingat statistik lebih identik dengan riset kuantitatif. Kesalahan dalam memilih metode statistik dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan, sehingga pemahaman tentang asas dasar positivisme dan perbedaan antara metode deduktif dan induktif menjadi krusial.

Pendekatan campuran (mixed methods) sering dianggap sebagai ciri postmodernisme, tetapi sebenarnya masih berakar pada positivisme yang dimodifikasi. Oleh karena itu, pemahaman tentang silogisme, logika deduktif-induktif, dan batasan metodologi sangat penting agar tidak terjebak dalam fanatisme metodologis. Dalam riset fenomena intangible, pendekatan seperti fenomenologi atau etnografi lebih tepat dibandingkan memaksakan kuantifikasi statistik. Kesalahan dalam memilih teknik operasional dan analisis data dapat menghasilkan simpulan yang tidak valid. Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika teknik analisis data dan memilih pendekatan yang sesuai, baik kuantitatif, kualitatif, maupun blended model. Selain itu, analisis kontekstual dan kritik memerlukan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip postmodernisme. Keambiguan dalam analisis bukanlah suatu kelemahan, melainkan bagian dari kompleksitas karya itu sendiri. Dengan menggunakan teknik dyad, hybrid, dan pendekatan kritik dari para filsuf postmodernis, peneliti dapat mengungkap makna yang lebih dalam dari suatu fenomena. Dengan demikian, kembali ke filsafat epistemologi dan memahami batasan serta potensi metode riset akan membantu menghasilkan karya yang bermakna serta dapat diandalkan dalam pengambilan kebijakan strategis.

Daftar Pustaka

Barthes, R. (1972). Mythologies. New York: Hill and Wang.

Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Derrida, J. (1976). Of Grammatology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Foucault, M. (1961). Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. New York: Pantheon Books.

Giddens, A. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley: University of California Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.

Habermas, J. (1987). The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism. Durham: Duke University Press.Lyotard, J.-F. (1979). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top