Mohamad Nizar
Direktur Rumah Jurnal “Litera Manggala” LP2M STIT Manggala
webpage: https://jurnal.manggala.ac.id/ ; https://gurukedua.com/about/
email: mohamadnizar@manggala.ac.id , mohamanizar@gurukedua.com
Abstrak
Tulisan ini mengulas fondasi filosofis dan metodologis riset dalam konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan fokus pada penerapan di STIT Manggala. Melalui pendekatan interdisipliner, penulis menegaskan pentingnya filsafat ilmu sebagai panduan etis dan epistemologis bagi riset yang bermutu dan transformatif. Dua paradigma utama—positivisme dan postpositivisme—dianalisis secara mendalam dalam konteks riset pendidikan, sosial, dan keislaman. Penulis menekankan integrasi antara penalaran rasional, empirik, intuisi, dan nash (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai landasan epistemologi riset Islami. Model-model riset deduktif dan induktif, baik kuantitatif maupun kualitatif, dijabarkan dengan contoh aplikatif dan implikasinya terhadap pengembangan keilmuan dan pengabdian masyarakat. Tulisan ini juga menyoroti pentingnya kerangka teoretik, konseptual, dan analitik sebagai elemen kritis dalam merancang riset yang bertanggung jawab secara akademik dan sosial. Dengan pendekatan ini, STIT Manggala diharapkan mampu membangun budaya riset yang kontekstual, etis, dan berkontribusi bagi peradaban Islam berkelanjutan.Kata kunci: positivisme, postpositivisme, metodologi riset, filsafat ilmu, Tri Dharma, epistemologi Islam, STIT Manggala.
A. Pendahuluan
Riset bukan hanya kewajiban akademis, tetapi investasi untuk kemajuan peradaban. Melalui Tri Dharma, perguruan tinggi memiliki peran ganda: sebagai pencetak intelektual, pengembang ilmu, dan agen perubahan sosial. Tanpa riset yang berkualitas dan berkelanjutan, ketiga pilar ini tidak akan mampu menjawab kompleksitas zaman. Riset ibarat jantung dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa riset, pengetahuan manusia akan stagnan, dan inovasi tidak akan tercipta. Dalam konteks Tri Dharma, riset secara langsung terkait dengan Dharma Penelitian dan Kajian yang bertujuan untuk mengembangkan teori, metode, atau temuan baru. Riset tidak terpisahkan dari Dharma Pendidikan yang membawa temuan mutakhir ke dalam kurikulum, memperkaya materi pembelajaran dengan perspektif terkini. Mahasiswa yang terlibat dalam riset juga mengasah kemampuan analitis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Integrasi riset ke dalam kurikulum (misalnya melalui tugas akhir, proyek laboratorium, atau kolaborasi dosen-mahasiswa) menciptakan proses belajar yang dinamis dan relevan dengan kebutuhan zaman. Dharma Pengabdian kepada Masyarakat pun membutuhkan riset untuk memastikan program yang dijalankan berbasis data dan solutif. Misalnya, riset tentang pola konsumsi masyarakat pedesaan dapat menjadi dasar program pemberdayaan ekonomi, atau riset epidemiologi dapat mengarahkan kampanye kesehatan di daerah tertinggal. Tanpa riset, pengabdian kepada masyarakat berisiko menjadi sekadar aktivitas seremonial tanpa dampak berkelanjutan. STIT Manggala adalah salah satu perguruan tinggi dengan core subject pendidikan dan ekonomi berbasis akademik. Riset di bidang strategis seperti teknologi digital dalam penidikan Islam dan ekonomi Syariah merupakan hirauan STIT Manggala guna memperkuat daya saing masyarakat baik pada level lokal hingga internasional. Negara dengan ekosistem riset yang kuat sanggup lebih mandiri dalam menghadapi tantangan global. Tri Dharma, dengan riset sebagai porosnya, menjadi alat untuk mewujudkan visi kemandirian ini. Riset di lingkungan STIT Manggala tidak hanya berorientasi pada teori, tetapi juga harus responsif terhadap isu aktual. Misalnya, riset tentang mitigasi bencana, ketimpangan gender, atau transformasi digital membantu masyarakat dan pemerintah membuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Hal ini sejalan dengan semangat Tri Dharma yang menekankan tanggung jawab sosial akademisi. Meski penting, riset di STIT Manggala masih menghadapi kendala seperti keterbatasan pengetahuan tentang filsasaf ilmu dan metodologi riset, pendanaan, dan infrastruktur, yang mana hal ini menjadi tantangan bagi budaya riset yang belum matang. Untuk mengoptimalkan peran STIT Manggala dalam Tri Dharma, diperlukan: pendalaman filsafat ilmu dan metodologi riset, serta mempersiapkan insentif bagi dosen dan mahasiswa (beasiswa, hibah kompetitif), serta sosialisasi hasil riset ke publik agar tidak berhenti di jurnal akademis
B. Kerangka Penalaran
- Filsafat Ilmu (Epistemologi)
Filsafat Ilmu bukan sekadar teori, melainkan kesadaran filosofis yang menjadi jiwa Tri Dharma. Riset tanpa landasan filsafat ibarat kapal tanpa kompas: mungkin bergerak, tetapi rentan tersesat. Dengan menginternalisasi nilai-nilai filsafat ilmu, perguruan tinggi dapat menjalankan perannya sebagai penjaga integritas keilmuan, pencetak intelektual transformatif, dan mitra masyarakat dalam membangun peradaban berkelanjutan. Ronald Barnett (2000) dalam Realizing the University in an Age of Supercomplexity menegaskan bahwa perguruan tinggi harus menjadi ruang untuk “pemikiran kritis” dan “aksi transformatif”, yang hanya mungkin tercapai jika riset dibangun di atas fondasi filsafat ilmu. Ki Hadjar Dewantara (1936) dalam konsep Pamong Praja Pendidik menekankan integrasi pendidikan, riset, dan pengabdian sebagai triadik untuk membangun masyarakat merdeka. Pemikiran ini menjadi akar filosofis Tri Dharma di Indonesia.
Filsafat Ilmu berperan sebagai fondasi epistemologis yang krusial dalam riset. Dengan mempelajarinya, periset memahami hakikat ilmu pengetahuan, seperti definisi kebenaran, cara memperoleh pengetahuan yang valid, dan batasan antara ilmu dengan pseudosains. Thomas Kuhn (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan konsep pergeseran paradigma, yang menekankan bahwa perkembangan ilmu tidak linier, tetapi melalui revolusi paradigmatik. Pemikiran ini relevan untuk memahami dinamika riset dan konteks historis-temuan ilmiah. Pemahaman ini menjadi pondasi bagi riset yang berkualitas, misalnya melalui refleksi atas paradigma Thomas Kuhn tentang pergeseran paradigma keilmuan, yang membantu periset menyadari konteks historis dan sosial dari temuan mereka. Dalam konteks Tri Dharma, landasan filosofis ini memastikan riset menghasilkan pengetahuan yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan, yang kemudian diintegrasikan ke dalam proses pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Tanpa filsafat ilmu, riset berisiko kehilangan arah atau terjebak dalam klaim yang tidak teruji.
Selain itu, Filsafat Ilmu membantu periset menghindari bias dan kesalahan metodologis dan dampak riset. Karl Popper (1959) dalam The Logic of Scientific Discovery memperkenalkan prinsip falsifikasi, yang menegaskan bahwa klaim ilmiah harus bisa diuji dan berpotensi dibantah. Prinsip ini menjadi dasar metodologi riset yang rigor. Melalui pemikiran kritis terhadap asumsi dasar, metode, dan objektivitas—seperti prinsip falsifikasi Karl Popper yang menekankan bahwa klaim ilmiah harus bisa diuji—riset menjadi lebih teliti dan objektif. Imre Lakatos (1978) dalam The Methodology of Scientific Research Programmes menekankan pentingnya program riset progresif yang melindungi inti teori dengan hipotesis tambahan, relevan untuk menjaga konsistensi riset jangka panjang. Ketelitian ini tidak hanya berdampak pada kualitas riset, tetapi juga memperkaya materi pendidikan dengan perspektif kritis dan memastikan program pengabdian masyarakat tepat sasaran. Contohnya, riset kebijakan publik yang mempertimbangkan prinsip etika dan konteks lokal akan lebih mudah diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat, sesuai semangat Dharma Pengabdian. Di sisi etika, Filsafat Ilmu mengajarkan periset untuk mempertanyakan tujuan dan dampak riset, seperti dampak lingkungan atau hak asasi manusia. Beauchamp & Childress (2019) dalam Principles of Biomedical Ethics mengemukakan empat prinsip bioetika: autonomy, beneficence, non-maleficence, dan justice. Prinsip ini menjadi acuan etis dalam riset, khususnya di bidang kesehatan dan teknologi. Hans Jonas (1984) dalam The Imperative of Responsibility menekankan tanggung jawab periset terhadap dampak riset bagi masa depan manusia dan lingkungan, sejalan dengan Dharma Pengabdian Masyarakat. Pernyataan ini menjadi sentral dalam era di banyak riset kontemporer, seperti rekayasa genetik yang harus mematuhi prinsip bioetika. Hal ini sejalan dengan Tri Dharma, di mana pengabdian masyarakat tidak boleh lepas dari pertimbangan moral. Misalnya, riset energi nuklir harus memprioritaskan keamanan warga, bukan sekadar mencapai kemajuan teknologi. Dengan demikian, filsafat ilmu menjadi penjaga integritas riset agar tetap manusiawi dan berkelanjutan.
Filsafat Ilmu juga mendorong integrasi interdisipliner dalam riset dan melatih keterampilan kritis, kreatif, dan reflektif. Julie Thompson Klein (2010) dalam Creating Interdisciplinary Campus Cultures membahas pentingnya kolaborasi antardisiplin ilmu untuk menjawab masalah kompleks. Pendekatan ini relevan dengan riset perubahan iklim atau kebijakan publik yang memadukan sains, sosial, dan humaniora. Edgar Morin (2008) dalam On Complexity mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan harus holistik dan kontekstual, bukan reduksionis. Pemikiran ini mendorong sinergi Tri Dharma melalui riset yang responsif terhadap realitas multidimensi. Pemahaman bahwa ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan saling terhubung memungkinkan kolaborasi antar bidang—seperti sains, humaniora, dan seni—untuk menjawab masalah kompleks. Contohnya, riset perubahan iklim membutuhkan pendekatan ekologi, ekonomi, dan filsafat lingkungan. Kolaborasi semacam ini tidak hanya memperluas cakupan riset, tetapi juga memperkaya kurikulum pendidikan dan menghasilkan solusi holistik dalam pengabdian kepada masyarakat. Sinergi ini mencerminkan esensi Tri Dharma yang menuntut perguruan tinggi untuk tidak bekerja dalam sekat disiplin sempit.
Lebih jauh, Filsafat Ilmu melatih keterampilan kritis, kreatif, dan reflektif yang esensial bagi periset. Kemampuan ini memungkinkan lahirnya riset inovatif, seperti penggunaan fenomenologi dalam studi sosial untuk memahami perspektif subjek riset secara mendalam. John Dewey (1916) dalam Democracy and Education menegaskan bahwa pendidikan harus melatih kemampuan berpikir kritis dan reflektif, yang hanya mungkin dicapai jika dosen dan mahasiswa memahami landasan filosofis keilmuan. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan transformatif harus melibatkan dialog kritis antara teori dan praktik, prinsip yang sejalan dengan integrasi riset dan pengabdian masyarakat. Mahasiswa yang dibekali filsafat ilmu akan tumbuh sebagai periset kompeten sekaligus agen perubahan yang bijak, mampu menjembatani Dharma Pendidikan, Riset, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Di tengah krisis relevansi ilmu pengetahuan era post-truth (postpositivisme), kemampuan menjelaskan metodologi riset secara transparan—seperti dalam kampanye vaksin untuk melawan hoaks—menjadi bukti konkret peran Tri Dharma dalam meningkatkan literasi masyarakat.
Filsafat Ilmu sering dianggap abstrak dan tidak praktis. Untuk mengatasinya, perguruan tinggi perlu mengintegrasikannya ke dalam kurikulum wajib, melatih dosen menghubungkannya dengan studi kasus riil, dan mendorong diskusi etis di setiap tahap riset. Sandra Harding (2015) dalam Objectivity and Diversity mengkritik objektivitas “netral” dalam ilmu pengetahuan dan menyarankan pendekatan standpoint theory, yang mempertimbangkan perspektif marginalisasi. Ini relevan untuk riset kebijakan inklusif di Indonesia. Kaelan (2012) dalam Filsafat Pancasila mengaitkan nilai-nilai lokal seperti kekeluargaan dan keadilan sosial dengan praktik riset, menunjukkan pentingnya kontekstualisasi ilmu dalam Tri Dharma. Dengan demikian, riset yang kontekstual—seperti kebijakan publik berbasis nilai Pancasila—dapat dihasilkan, lalu diadopsi dalam pendidikan dan pengabdian yang sesuai kebutuhan lokal. Max Horkheimer (1937) dalam Traditional and Critical Theory membedakan antara riset yang sekadar deskriptif dengan riset kritis yang bertujuan membongkar struktur ketidakadilan. Prinsip ini relevan untuk pengabdian masyarakat berbasis riset. Hans-Georg Gadamer (1960) dalam Truth and Method membahas hermeneutika sebagai metode memahami teks dan realitas melalui dialog. Pendekatan ini mendorong peneliti untuk peka terhadap konteks budaya dalam riset kualitatif.
Dalam konteks riset keislaman, filsafat ilmu memberikan landasan epistemologis yang membimbing cara berpikir, pendekatan metodologis, dan orientasi tujuan dari riset yang dilakukan dalam kerangka nilai-nilai Islam. Riset keislaman bukan sekadar proses pencarian data atau informasi, tetapi merupakan bagian dari ikhtiar intelektual untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang berakar dari sumber-sumber Islam seperti Al-Qur’an, Hadis, serta warisan ulama klasik dan modern, dengan tetap membuka ruang dialog dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Menurut Al-Attas (1995), dalam tradisi Islam, ilmu tidak bersifat bebas nilai sebagaimana yang diasumsikan dalam paradigma positivisme Barat, tetapi memiliki dimensi etis dan spiritual yang tidak terpisahkan dari tujuan hidup manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Oleh karena itu, filsafat ilmu dalam riset keislaman menekankan pentingnya integrasi antara wahyu dan akal, serta antara tradisi ilmiah Islam dan pendekatan ilmiah modern. Konsep seperti ta’dib (pendidikan adab), hikmah (kebijaksanaan), dan ijtihad (usaha intelektual) menjadi fondasi penting dalam pengembangan metodologi riset yang sesuai dengan worldview Islam. Dalam praktiknya, filsafat ilmu dalam perspektif keislaman juga mengkritisi sekularisasi ilmu pengetahuan modern yang memisahkan antara fakta ilmiah dan nilai-nilai moral. Pendekatan ini menawarkan alternatif berupa islamisasi ilmu, yaitu proses penyusunan ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan nilai-nilai tauhid dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Riset keislaman yang berpijak pada filsafat ilmu Islam tidak hanya bertujuan untuk menemukan fakta empiris, tetapi juga untuk memahami makna yang lebih dalam dari fenomena, serta mendorong transformasi sosial yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan rahmat bagi semesta alam.
2. Penalaran Rasional, Empirik, Intuisi, dan Nash sebagai Sumber Pengetahuan
Riset di lingkungan STIT Manggala memadukan Nash sebagai landasan nilai, rasio untuk kritik teks, empirik untuk verifikasi, dan intuisi sebagai inspirasi terpandu. Pemikir seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Fazlur Rahman telah menunjukkan bahwa integrasi ini bukan hanya mungkin, tetapi esensial untuk membangun keilmuan yang unggul dan berkarakter Islami. Sebagaimana ditegaskan oleh Syed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred, ilmu pengetahuan dalam Islam harus mencerminkan kesatuan (tawhid) antara akal, hati, dan wahyu, agar tetap relevan bagi peradaban manusia. Pemikiran Jujun S. Suriasumantri memperkaya diskusi tentang sumber pengetahuan dalam riset Islam dengan menekankan prinsip kritisisme, verifikasi empiris, dan keterbukaan metodologis. Meski berakar pada filsafat ilmu sekuler, pandangannya selaras dengan semangat integrasi Islam yang diusung pemikir seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Fazlur Rahman. Sebagaimana ia tulis: “Ilmu adalah upaya manusiawi untuk memahami realitas—baik yang fisik maupun transenden.” Di STIT Manggala, prinsip ini diwujudkan melalui riset yang menghormati Nash sebagai sumber nilai, menggunakan rasio dan empirik sebagai alat analisis, serta memfilter intuisi melalui kerangka syariat. Dengan demikian, khazanah keilmuan Islam tetap relevan dan berkontribusi bagi peradaban global.
a. Penalaran Rasional
Penalaran rasional, sebagai fondasi epistemologi ilmiah, menekankan penggunaan logika dan analisis sistematis. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (2003) menegaskan bahwa rasio adalah alat utama untuk membangun kerangka berpikir ilmiah yang koheren. Ia menyatakan, “Tanpa logika, ilmu pengetahuan tidak akan mampu membedakan antara kebenaran dan kesesatan.” Pendapat ini selaras dengan tradisi keilmuan Islam, di mana Ibnu Rusyd (Averroes) dalam Tahafut al-Tahafut menggunakan rasio untuk merekonsiliasi filsafat dengan wahyu. Namun, Suriasumantri juga mengingatkan bahwa rasio harus dibatasi oleh prinsip falsifikasi Karl Popper—sebuah konsep yang sejalan dengan kritik Al-Ghazali terhadap filsafat spekulatif yang melampaui batas syariat. Dalam konteks riset Islam, rasio berperan menafsirkan Nash secara kontekstual, seperti dalam metode maqashid syariah Al-Syatibi, tetapi tetap harus tunduk pada kerangka etika ilahiah. Penalaran rasional merupakan proses memperoleh pengetahuan melalui logika dan analisis sistematis, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai penggunaan ‘aql (akal). Ibnu Rusyd (Averroes), dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), menegaskan bahwa akal tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan alat untuk memahami kebenaran Ilahi. Pemikiran ini mendasari metode qiyas (analogi) dalam usul fiqih, seperti yang dikembangkan oleh Imam Al-Syafi’i, untuk menetapkan hukum baru berdasarkan prinsip Alquran dan Hadis. Al-Ghazali, meski kritis terhadap filsafat Yunani, dalam Ihya Ulumuddin (Revival of Religious Sciences) tetap menggunakan rasio untuk membangun argumen teologis, seperti konsep maqashid syariah (tujuan syariat) yang kemudian diperluas oleh Al-Syatibi. Rasio berperan penting dalam riset hukum Islam, filsafat, dan teologi, selama tidak melampaui batas Nash.
b. Pengetahuan Empiris
Pengetahuan empiris, menurut Jujun S. Suriasumantri, adalah basis verifikasi ilmiah. Dalam Ilmu dalam Perspektif (1984), ia menulis: “Fakta empiris adalah batu uji bagi setiap teori—tanpanya, ilmu hanya menjadi kumpulan dogma.” Pendapat ini sejalan dengan seruan Alquran untuk melakukan observasi alam (QS. Al-Ghasiyah:17-20) serta praktik Ibnu Haytham dalam Kitab al-Manazir yang menggabungkan eksperimen dengan prinsip Islam. Suriasumantri menekankan pentingnya metode ilmiah yang objektif, seperti dalam riset kedokteran Islam kontemporer yang menguji efek terapi zikir melalui uji klinis. Namun, ia juga mengkritik reduksionisme empiris yang mengabaikan dimensi nilai—sebuah tantangan yang dijawab dalam riset Islam dengan mengintegrasikan data empiris ke dalam etika Nash, seperti larangan eksploitasi lingkungan dalam Hadis. Pengetahuan empiris diperoleh melalui observasi dan eksperimen, yang sejalan dengan seruan Alquran untuk melakukan tadabbur (perenungan) atas alam semesta (QS. Al-Ghasiyah:17-20). Ibnu Sina (Avicenna), dalam The Canon of Medicine, menggabungkan observasi medis dengan prinsip Islam, sementara Ibnu Haytham, dalam Kitab al-Manazir (Book of Optics), menekankan metode eksperimen sebagai fondasi sains. Di era modern, riset empiris digunakan untuk menentukan waktu salat berbasis astronomi atau menguji efektivitas terapi zikir terhadap kesehatan mental, seperti penelitian psikologi Islam kontemporer. Menurut Ismail Raji Al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge, integrasi empirisme dengan nilai Islam diperlukan untuk menjawab tantangan sains modern tanpa mengabaikan etika ilahiah.
c. Pengetahuan Intuitif
Meski mengakui peran intuisi sebagai sumber hipotesis awal, Jujun S. Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu (2003) menegaskan bahwa intuisi harus diuji secara rasional dan empiris agar valid. Ia menyebutnya sebagai “lompatan kreatif yang perlu dikonfirmasi.” Pendapat ini selaras dengan pandangan Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar yang membedakan intuisi palsu (waswas) dengan ilham yang sahih (kasyf). Dalam riset tasawuf, misalnya, pengalaman spiritual sufi seperti yang dijelaskan Ibnu Arabi dalam Fusus al-Hikam harus diverifikasi melalui kriteria syariat dan analisis fenomenologis. Suriasumantri mengingatkan risiko subjektivitas intuisi, sehingga dalam konteks Islam, Nash berfungsi sebagai filter untuk memastikan intuisi tidak bertentangan dengan wahyu. Intuisi melalui ilham (kasyf), diakui dalam Islam selama selaras dengan syariat. Ibnu Arabi, dalam Fusus al-Hikam (The Bezels of Wisdom), menjelaskan bahwa pengalaman mistis sufi seperti ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah bentuk pengetahuan intuitif yang transenden. Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar (The Niche of Lights) membedakan tiga tingkat pengetahuan: inderawi, rasional, dan intuitif, di mana yang terakhir hanya dicapai melalui penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Dalam riset, intuisi dapat menjadi inspirasi awal, seperti hipotesis tentang dampak spiritualitas terhadap perilaku sosial, yang kemudian harus diverifikasi secara empiris atau rasional. Namun, seperti diingatkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, intuisi harus diuji validitasnya melalui kerangka epistemologi Islam agar tidak terjebak dalam subjektivitas.
d. Alquran dan Hadis (Nash)
Jujun S. Suriasumantri tidak secara langsung membahas Nash sebagai sumber pengetahuan, tetapi dalam Ilmu dalam Perspektif (1984), ia mengakui bahwa nilai-nilai lokal dan religius dapat memandu arah riset. Ia menulis: “Ilmu tidak bebas nilai—ia harus diarahkan untuk kemanusiaan.” Pernyataan ini sejalan dengan prinsip Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al-Faruqi, di mana Nash menjadi kompas etis bagi riset. Contohnya, Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Quran menggunakan tafsir kontekstual untuk menjawab isu bioetika modern, sementara Suriasumantri menekankan bahwa nilai agama harus diuji secara kritis agar tidak menjadi penghambat kemajuan. Integrasi ini tercermin dalam riset ekonomi syariah yang merujuk larangan riba (QS. Al-Baqarah:275) tetapi tetap menggunakan metode empiris-analitis untuk mengukur dampak sosial.
Nash, sebagai sumber pengetahuan utama, berfungsi sebagai fondasi etika dan epistemologi. Fazlur Rahman, dalam Major Themes of the Quran, menekankan pentingnya tafsir kontekstual untuk menghubungkan ayat-ayat Alquran dengan masalah kontemporer, seperti bioetika atau keadilan sosial. Yusuf Al-Qaradawi, melalui Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqh Prioritas), menunjukkan bagaimana Nash diintegrasikan dengan rasio untuk menentukan skala prioritas hukum dalam situasi darurat. Contoh penerapannya adalah riset tentang keuangan syariah yang merujuk larangan riba (QS. Al-Baqarah:275) atau studi ekologi berbasis Hadis tentang larangan mubadzir (HR. Ahmad). Menurut Muhammad Abduh dalam Risalah al-Tauhid, Nash tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang bertauhid.
Keempat sumber pengetahuan ini berinteraksi secara hierarkis. Nash menjadi kompas etis, rasio sebagai alat analisis, empirik sebagai pembuktian, dan intuisi sebagai inspirasi yang diuji. Ismail Raji Al-Faruqi dalam Tawhidic Paradigm menawarkan model integrasi ini, di mana wahyu mengarahkan sains dan humaniora. Namun, tantangan muncul ketika temuan empiris (misalnya teori evolusi) dianggap bertentangan dengan tafsir literal penciptaan Adam (QS. Al-Hijr:28). Solusinya, menurut Ziauddin Sardar dalam Explorations in Islamic Science, adalah dialog kritis antara ulama, ilmuwan, dan filsuf untuk merekonsiliasi wahyu dengan realitas ilmiah. Dalam Filsafat Ilmu (2003), JujunS. Suriasumantri menekankan pentingnya kritisisme dan keterbukaan metodologis. Ia menolak dikotomi antara ilmu agama dan sains, tetapi mengingatkan bahwa integrasi keduanya harus dilakukan dengan hati-hati: “Ilmuwan harus kritis terhadap klaim absolutisme, baik dari agama maupun sains.” Tantangan utama dalam riset Islam, menurutnya, adalah menjaga keseimbangan antara otoritas Nash dan kebebasan akademik. Misalnya, teori evolusi bisa dipahami sebagai mekanisme Allah (QS. Al-Anbiya:30) melalui tafsir metaforis, bukan literal. Suriasumantri mendukung dialog interdisipliner, seperti yang diusung Ziauddin Sardar dalam Explorations in Islamic Science, untuk menghindari konflik semu antara wahyu dan sains.
C. Metodologi
- Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat ilmu yang dikembangkan oleh Auguste Comte pada abad ke-19, yang menekankan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang sah adalah yang diperoleh melalui pengalaman inderawi dan dapat diuji secara empiris serta rasional. Dalam positivisme, segala bentuk pengetahuan harus didasarkan pada observasi langsung, eksperimen, dan logika ilmiah, serta sebisa mungkin bebas dari nilai-nilai subjektif atau metafisika. Comte membagi perkembangan intelektual manusia ke dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif, dengan tahap positif sebagai puncak perkembangan di mana ilmu pengetahuan menjadi dasar utama pemahaman dunia (Comte, 1853). Dalam konteks riset di perguruan tinggi Islam, positivisme menjadi krusial karena mendorong penerapan metode ilmiah yang sistematis dan rasional dalam penelitian, terutama dalam bidang ilmu sosial dan pendidikan.
Penerapan kaidah riset positivisme di STIT Manggala seyogianya membawa manfaat dalam pengembangan kurikulum dan metodologi riset. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan ini harus disesuaikan dengan karakteristik dan nilai-nilai Islam untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan seimbang antara aspek ilmiah dan spiritual seperti telah diuraikan dalam Penalaran Rasional, Empirik, Intuisi, dan Nash sebagai Sumber Pengetahuan. Positivisme, yang dikembangkan oleh Auguste Comte pada abad ke-19, menekankan bahwa pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada data empiris yang dapat diamati dan diukur secara objektif. Karmillah (2020) menyoroti bahwa penerapan positivisme dalam pendidikan Islam di Indonesia telah membawa perubahan paradigma dari orientasi teologis menuju orientasi integratif. Pendekatan ini mendorong pengembangan kurikulum yang tidak hanya berfokus pada aspek teologis semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ilmiah dan rasional, sehingga menciptakan keseimbangan antara nilai-nilai keagamaan dan kebutuhan ilmiah. Irawati, Natsir, dan Haryanti (2021) menjelaskan bahwa positivisme, bersama dengan postpositivisme, teori kritis, dan konstruktivisme, dapat diakomodasi dalam konsep epistemologi Islam. Mereka berpendapat bahwa pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan lebih luas dan tidak bersifat sekuler, sehingga memungkinkan integrasi antara sains dan agama. Namun, penting untuk dicatat bahwa penerapan positivisme dalam riset keislaman memiliki keterbatasan, terutama dalam menangani aspek-aspek metafisik dan spiritual yang menjadi inti ajaran agama. Pendekatan ilmiah positivistik cenderung menolak hal-hal metafisik, sementara agama, termasuk Islam, sangat kental dengan hal-hal tersebut. Kelebihannya adalah, bahwa penelitian positivistik itu dapat diulang. Oleh karena itu, integrasi antara metode empiris dan nilai-nilai Islam diperlukan untuk menghasilkan kajian sosial yang holistik dan relevan.
a. Positivisme dalam Penelitian Sains
1) Model Penelitian Kuantitatif Deduktif
Positivisme merupakan paradigma pada metodologi riset, digunakan terutama dalam riset (penelitian) kuantitatif yang bersifat atomistis dalam sains (ilmu pengetahuan alam: fisika, kimia, dan biologi). Atomistik dalam riset adalah pendekatan yang menguraikan dan mengukur peristiwa dan penyebabnya secara spesifik, yang berdasarkan gagasan bahwa suatu peristiwa dapat diuraikan dan diukur secara individual. Atomistik juga dapat merujuk pada model komputasi yang meniru perilaku sistem kompleks dengan memperhitungkan bagian-bagian penyusun terkecilnya.
Penelitian deduktif adalah model penelitian prinsip deduksi, dimulai dari teori atau prinsip umum yang telah mapan, kemudian menguji kebenaran teori tersebut melalui observasi data spesifik. Misalnya, penelitian dalam biologi tentang Peran Gen lacZ pada Metabolisme E. coli. Penelitian ini mengeksplorasi fungsi gen lacZ dalam metabolisme laktosa pada bakteri E. coli berdasarkan prinsip Central Dogma of Molecular Biology. Hipotesis menyatakan bahwa penghapusan gen lacZ akan menghentikan produksi enzim β-galaktosidase, sehingga bakteri tidak dapat memecah laktosa. Pendekatan atomistik melibatkan rekayasa genetik dengan teknik CRISPR-Cas9 untuk menghapus gen lacZ dari genom bakteri. Analisis elektroforesis gel dan uji enzimatik kemudian dilakukan untuk mengukur ekspresi β-galaktosidase pada bakteri mutan. Hasilnya, bakteri dengan gen lacZ yang terhapus gagal tumbuh pada media laktosa, sementara pertumbuhan normal teramati pada media glukosa. Temuan ini membuktikan peran kritis gen lacZ dalam sintesis enzim pemecah laktosa, sekaligus memperkuat prinsip bahwa informasi genetik mengalir dari DNA ke protein melalui RNA.
Pada tahap perumusan hipotesisnya, periset positivistik menyusun hipotesis yang bersifat deduktif dari teori-teori yang telah ada. Contoh dalam penelitian fisika yang bersifat deduktif, merupakan model penelitian yang dimulai dari teori atau hukum umum yang telah ada, kemudian digunakan untuk menjelaskan atau menguji fenomena khusus melalui proses logis dan observasi empiris. Metode ini sangat cocok dalam fisika karena banyak prinsip dasar fisika sudah dirumuskan dalam bentuk hukum universal, seperti hukum Newton, hukum termodinamika, hukum Ohm, dan sebagainya. Berangkat dari teori, peneliti memulai dengan teori atau hukum fisika yang sudah ada, kemudian merumuskan hipotesis, yaitu dari teori tersebut, peneliti menarik prediksi atau hipotesis spesifik. Berikutnya adalah pengujian empiris, yakni melalui eksperimen atau pengukuran, hipotesis diuji. Tahap selanjutnya adalah analisis data, yaitu hasil pengamatan digunakan untuk menguatkan atau menolak hipotesis awal. Peneltian ini bersifat konfirmasi (verifikasi) yang berujuan untuk mengonfirmasi atau menguji kebenaran teori dalam kondisi tertentu.
Karakteristik utama penelitian ini bersifat reduksionis, di mana fenomena direduksi menjadi bagian-bagian sederhana untuk memudahkan pengujian hubungan sebab-akibat. Pendekatan ini juga sangat berbasis teori, karena hipotesis dirancang berdasarkan kerangka teoretis yang sudah ada. Meskipun umumnya terkait dengan metode kuantitatif (seperti eksperimen atau survei statistik), penelitian deduktif dapat pula menggunakan metode kualitatif, asalkan tetap berfokus pada analisis komponen spesifik. Contoh aplikasinya antara lain studi dalam psikologi yang meneliti pengaruh gen tertentu terhadap risiko depresi, atau penelitian ekonomi mikro yang menganalisis keputusan konsumen individual berdasarkan teori utilitas.
Kelebihan model ini terletak pada presisi dan keterujian. Dengan memisahkan variabel-variabel kunci, peneliti dapat mengontrol faktor pengganggu dan menguji hipotesis secara sistematis. Selain itu, pendekatan ini memungkinkan klarifikasi hubungan kausal antar-komponen, seperti mengidentifikasi apakah peningkatan motivasi kerja lebih dipengaruhi oleh insentif finansial atau pengakuan sosial. Namun, penelitian deduktif atomistik juga memiliki kelemahan, terutama dalam mengabaikan konteks yang lebih luas. Memecah fenomena menjadi bagian terkecil berisiko menghilangkan pemahaman tentang interaksi kompleks antarkomponen, seperti dinamika tim dalam organisasi atau pengaruh budaya pada perilaku sosial. Keterbatasan lain adalah ketergantungannya pada teori yang sudah ada, sehingga kurang cocok untuk mengeksplorasi fenomena baru yang belum tercakup dalam literatur sebelumnya. Dalam perbandingan dengan pendekatan holistik, penelitian deduktif atomistik lebih cocok untuk ilmu-ilmu yang memerlukan analisis terstruktur, seperti genetika atau psikologi kognitif. Sementara itu, pendekatan holistik (seperti dalam antropologi atau ekologi) cenderung mempertahankan kompleksitas sistem dengan melihat interaksi antar-komponen secara utuh. Meskipun demikian, kritik terhadap pendekatan atomistik sering muncul dalam riset sosial-humaniora, karena dianggap terlalu mekanistik dan tidak mampu menangkap esensi fenomena multidimensional. Di sisi lain, dalam ilmu alam seperti fisika atau kimia, reduksionisme justru menjadi fondasi utama untuk memahami hukum dasar alam semesta. Dengan demikian, pemilihan pendekatan ini perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian dan sifat fenomena yang diteliti.
2) Model Penelitian (Kuantitatif) Induktif
Model ini adalah suatu riset yang berangkat dari pengamatan atau data empiris spesifik, lalu menyusun pola atau generalisasi, dan pada akhirnya menghasilkan kesimpulan atau teori baru. Teori atau kesimpulan disusun berdasarkan pola yang muncul dari observasi yang sangat berguna untuk eksplorasi awal atau untuk menemukan kecenderungan baru yang bisa diuji lagi secara deduktif di penelitian selanjutnya. Misalnya, Penelitian induktif dalam biologi merupakan pendekatan ilmiah yang diawali dengan pengamatan data atau fenomena spesifik di lapangan, kemudian mengidentifikasi pola atau prinsip umum yang mendasarinya. Berbeda dengan penelitian deduktif yang menguji teori yang sudah ada, pendekatan ini bersifat eksploratif dan bertujuan membangun teori baru berdasarkan bukti empiris. Misalnya, seorang ahli ekologi mungkin mengamati pola migrasi burung yang tidak sesuai dengan teori migrasi musiman yang ada. Dari pengamatan tersebut, peneliti mengumpulkan data, menganalisis pola yang muncul, dan merumuskan hipotesis baru, seperti faktor perubahan iklim yang memengaruhi waktu migrasi. Proses ini memungkinkan penemuan teori atau hubungan sebab-akibat yang sebelumnya tidak terduga.
Contoh klasik penelitian induktif dalam biologi adalah karya Jane Goodall yang mempelajari perilaku simpanse di Gombe. Tanpa hipotesis awal, Goodall mengobservasi interaksi sosial, penggunaan alat, dan komunikasi simpanse selama bertahun-tahun. Dari catatan detail ini, ia mengembangkan teori tentang kecerdasan primata dan keberadaan “budaya” pada hewan non-manusia. Contoh lain adalah penemuan penisilin oleh Alexander Fleming, yang berawal dari observasi tidak sengaja bahwa koloni bakteri Staphylococcus terhambat oleh jamur Penicillium. Dari fenomena spesifik ini, Fleming merumuskan teori tentang zat antimikroba, yang kemudian membuka jalan bagi revolusi antibiotik.
Kelebihan pendekatan induktif terletak pada kemampuannya mengeksplorasi fenomena kompleks yang belum terjawab oleh teori yang ada. Misalnya, dalam observasi atau pengamatan biodiversitas hutan hujan, peneliti mungkin menemukan hubungan tak terduga antara kehadiran spesies pohon tertentu dengan populasi serangga polinator. Fleksibilitas metode ini memungkinkan penyesuaian selama penelitian, seperti menambahkan variabel analisis ketika pola baru teridentifikasi. Namun, model ini juga memiliki keterbatasan, seperti risiko bias interpretasi akibat faktor lingkungan yang tidak terkontrol atau kesulitan generalisasi temuan dari kasus spesifik ke konteks yang lebih luas. Resiko tersebu dapat diatasi dengan metode falsifikasi (Karl Popper), yang menekankan bahwa pengetahuan ilmiah berkembang melalui upaya penyangkalan atau pemalsuan teori yang ada, bukan dengan verifikasi atau pembuktian kebenaran. Dengan kata lain, falsifikasi dalam konteks Popper adalah upaya untuk membuktikan bahwa suatu teori salah, sehingga dapat digantikan dengan teori yang lebih baik. Penelitian ini sering kali digunakan dalam bidang ekologi, evolusi, atau biologi molekuler untuk mengungkap mekanisme alam yang belum terpetakan. Misalnya, studi tentang mutasi gen pada ikan di sungai tercemar dapat mengarah pada hipotesis baru tentang dampak polutan terhadap seleksi alam. Model ini juga relevan dalam penelitian penyakit emerging pada satwa liar, di mana pola penularan dan faktor risiko belum sepenuhnya dipahami. Meskipun memakan waktu dan biaya, penelitian induktif menjadi fondasi bagi terobosan ilmiah, seperti teori seleksi alam Darwin atau penemuan sistem CRISPR dalam bioteknologi. Kombinasi antara model induktif (eksplorasi) dan deduktif (verifikasi) sering kali diperlukan untuk memperkuat validitas dan relevansi temuan dalam ilmu biologi.
3) Model Penelitian Induktif dengan Statistik
Dalam penelitian positivistik pun berlaku kuantitatif dengan kiraan statistik yang bersifat induktif, yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat, memprediksi gejala, dan menghasilkan hukum-hukum umum yang bersifat universal. Misalnya, penelitian induktif yang menggunakan statistik yang mengadopsi dari ilmu fisika, misalnya “Analisis Statistik terhadap Hubungan Antara Suhu dan Waktu Pendinginan Logam dengan Menggunakan Data Eksperimen.” Desain penelitiannya adalah berlatar belakang tidak diketahui secara pasti bagaimana hubungan suhu awal dan waktu pendinginan berbagai jenis logam (besi, tembaga, aluminium) dalam kondisi udara terbuka dan peneliti ingin menemukan pola dari hasil pengamatan (observasi). Langkah-langkah yang diambil adalah mengambil sampel beberapa jenis logam dengan suhu awal yang berbeda, kemudian mengukur suhu logam setiap 30 detik selama proses pendinginan. Berikutnya, mengumpulkan data suhu terhadap waktu untuk tiap jenis logam, selanjutnya menganalisis data dengan statistik deskriptif (rata-rata, standar deviasi) dan korelasi regresi linear/logaritmik. Terakhir, menyusun model hubungan suhu dan waktu pendinginan berdasarkan pola statistik yang ditemukan. Hipotesis awal (tentatif, bukan deduktif), yaitu tidak diawali dari teori Newton tentang pendinginan, tapi dari pengamatan langsung untuk melihat apakah ada pola yang muncul. Hasil yang diharapkan adalah ditemukan pola umum bahwa suhu berkurang dengan fungsi eksponensial terhadap waktu dan hasil ini bisa menjadi dasar atau inspirasi untuk penelitian lebih lanjut yang bersifat deduktif atau teoritis. Pada tahap identifikasi masalah, pendekatan positivistik menekankan pentingnya perumusan masalah yang spesifik, terukur, dan berdasarkan fenomena yang dapat diamati secara empiris. Masalah yang diangkat biasanya berasal dari ketidaksesuaian antara kondisi ideal dan kenyataan yang terjadi di lapangan, dan dapat dirumuskan dalam bentuk hubungan antarvariabel, periset menghindari masalah yang bersifat spekulatif, metafisik, atau normatif, karena tidak dapat diuji secara objektif.
b. Positivisme dalam Penelitian Sosial dan Humaniora1
Paradigma positivisme sangat relevan pula dalam riset sosial maupun pendidikan ketika periset ingin memperoleh hasil yang dapat digeneralisasi, terukur, dan dapat diuji kembali oleh periset lain secara independen dengan menggunakan model penelitian dengan kiraan statistik. Dimulai dengan hipotesis yang menyatakan hubungan antara variabel independen dan dependen yang akan diuji secara empiris. Misalnya: “Terdapat pengaruh signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja.” Tujuannya adalah untuk menguji apakah hipotesis tersebut dapat dibuktikan secara statistik berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. Dalam pengumpulan data, periset positivistik menggunakan instrumen standar seperti kuesioner, survei, dan tes yang sudah divalidasi sebelumnya untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan objektif dan dapat direplikasi. Populasi dan sampel ditentukan dengan metode statistik tertentu, seperti random sampling, agar hasil dapat digeneralisasi. Data yang dikumpulkan harus kuantitatif, dapat diukur dalam angka, dan dianalisis secara statistik untuk menjamin akurasi dan reliabilitas. Tahap analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik statistik seperti uji regresi, korelasi, ANOVA, atau SEM. Tujuannya adalah untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau ditolak berdasarkan data yang ada. Dalam paradigma ini, validitas dan reliabilitas instrumen pengukuran menjadi sangat penting, karena menyangkut keabsahan hasil penelitian. Periset diharapkan tidak memasukkan interpretasi subjektif, melainkan hanya berpegang pada hasil perhitungan statistik. Pada tahap penarikan kesimpulan, pendekatan positivisme menekankan hasil yang bersifat umum dan dapat diuji ulang. Kesimpulan didasarkan sepenuhnya pada hasil analisis statistik dan tidak dipengaruhi oleh pandangan pribadi peneliti. Peneliti juga menyarankan implikasi praktis dan prediksi berdasarkan hubungan antar variabel yang ditemukan. Paradigma ini memandang ilmu sebagai akumulasi dari fakta-fakta objektif yang dapat membentuk hukum atau prinsip universal, dan berorientasi pada pengendalian dan prediksi terhadap fenomena yang diteliti.
2. Postpositivisme
Postpositivisme merupakan pengembangan dari paradigma positivisme yang mengakui bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat sementara dan terbuka untuk revisi. Dalam konteks metodologi riset, postpositivisme digunakan sebagai landasan yang lebih fleksibel dan reflektif, karena menyadari bahwa realitas objektif memang ada, tetapi hanya dapat dipahami secara parsial melalui interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks, nilai, dan keterbatasan manusia. Oleh karena itu, dalam model ini, proses riset berupa kajian kualitatif bisa tanpa kiraan statistik bersifat induktif ataupun deduktif dan dapat pula melibatkan kombinasi antara metode paduan kuantitatif dan kualitatif, serta penggunaan triangulasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap fenomena.
Pada tahap identifikasi masalah, paradigma postpositivisme bisa mendasarkan diri pada gejala empiris yang dapat diukur dengan menggunakan kiraan statistik, atau juga memperhatikan konteks sosial, historis, dan budaya yang melingkupi masalah tersebut. Masalah yang ditelaah dipandang sebagai bagian dari realitas yang kompleks, sehingga pengkaji juga mempertimbangkan nilai-nilai dan asumsi yang tersembunyi di balik fenomena, isu, atau peristiwa tersebut. Misalnya, dalam studi sosial atau pendidikan, masalah tidak cukup dijelaskan dengan angka atau statistik, tetapi harus dipahami melalui narasi, pengalaman subjek, dan latar belakang sosial. Atau juga masalah yang ditelaah tidak dapat diukur menggunakan statistika, namun perlu penelaahan intersubjektivitas. Misalnya, dalam kajian kebahasaan (linguistik) dan keagamaan.
Dalam paradigma postpositivisme, perumusan asumsi berupa pertanyaan riset yang bersifat terbuka dan tidak dogmatis, terutama jika riset itu tidak menggunakan statistik, maka perumusannya disebut asumsi (tidak menggunakan istilah hipotesis). Pengkaji boleh merumuskan asumsi sementara yang dapat diuji secara empiris, namun juga membuka ruang bagi pertanyaan-pertanyaan reflektif yang menjangkau aspek-aspek subjektif dan kontekstual. Dalam hal ini, kerangka konseptual tetap digunakan, tetapi tidak bersifat mengikat secara deterministik; justru digunakan sebagai alat bantu untuk memahami fenomena, isu, atau peristiwa secara lebih dalam. Dalam tahap pengumpulan informasi sebagai data empiris, model postpositivisme memungkinkan penggunaan metode paduan. Pengkaji dapat menggunakan survei dan kuesioner (kuantitatif), sekaligus wawancara mendalam dan observasi partisipatif (kualitatif) untuk menggali makna di balik angka. Postpositivisme juga menekankan pentingnya refleksi kritis terhadap proses pengumpulan data: periset menyadari bahwa dirinya bukanlah pengamat netral, melainkan bagian dari proses interpretasi. Oleh karena itu, triangulasi data—baik dari sumber, metode, maupun perspektif—digunakan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil riset. Pada tahap analisis data, dalam paradigma ini dilakukan dengan pendekatan yang tidak hanya statistik, tetapi juga interpretatif. Data kuantitatif dianalisis untuk melihat pola dan hubungan, sementara data kualitatif digunakan untuk memberikan konteks, menjelaskan anomali, dan memperkaya interpretasi. Periset postpositivis juga cenderung bersikap skeptis terhadap hasil temuan yang terlalu pasti, dan lebih mendorong pembacaan yang reflektif dan terbuka. Dalam penarikan kesimpulan, postpositivisme tidak berambisi untuk menemukan kebenaran mutlak. Kesimpulan yang dihasilkan bersifat sementara (tentative), terbuka untuk falsifikasi, dan kontekstual. Periset postpositivis biasanya menutup laporan risetnya dengan catatan reflektif tentang keterbatasan studi dan kemungkinan arah riset lanjutan, sekaligus menekankan pentingnya kesadaran etis dan tanggung jawab sosial dalam penggunaan hasil riset.
a. Model Kajian Kualitatif Induktif
Kajian kualitatif induktif adalah model riset yang bertujuan untuk memahami fenomena sosial, perilaku, pengalaman, atau pandangan manusia secara mendalam. Model ini fokus pada makna, proses, dan persepsi individu atau kelompok, bukan pada data statistik atau angka. Tujuannya adalah menggali makna di balik pengalaman hidup, interaksi sosial, atau pandangan masyarakat terhadap suatu isu. Kajian kualitatif menekankan perspektif subjektif responden, yakni bagaimana mereka mengartikan atau memberi makna pada dunia di sekitar mereka. Karakteristiknya bersifat deskriptif dan analitis, dengan pengumpulan informasi berupa teks, percakapan, atau observasi. Pendekatan ini bersifat induktif, di mana temuan adalah sebuah pendekatan yang dibangun dari informasi yang dikumpulkan, bukan dari pernyataan yang sudah ada.
Metodologi kajian kualitatif cenderung fleksibel, memungkinkan pengkaji menyesuaikan proses pengumpulan informasi sesuai kebutuhan. Model ini sangat tepat digunakan untuk memahami kompleksitas pengalaman manusia, makna di balik tindakan, atau fenomena sosial yang tidak dapat diukur secara numerik. Aspek subjektif seperti emosi, nilai, dan konteks budaya dapat digali secara lebih mendalam. Kajian kualitatif sering diterapkan dalam studi sosial dan humaniora. Misalnya, telaahan tentang persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik melalui wawancara mendalam, studi kasus mengenai pengalaman pasien dengan penyakit kronis, atau analisis etnografi untuk memahami tradisi suatu suku. Model ini juga relevan dalam bidang pendidikan, seperti meneliti dinamika interaksi guru dan murid di kelas. Kajian kualitatif terdiri dari beberapa jenis pendekatan yang disesuaikan dengan tujuan kajian. Pertama, fenomenologi, yang berfokus pada pemahaman pengalaman subjektif individu terkait fenomena tertentu, seperti perasaan, persepsi, atau interpretasi mereka. Kedua, etnografi, yakni kajian yang mendalami kehidupan budaya, kebiasaan, dan interaksi sosial suatu kelompok atau masyarakat secara menyeluruh. Ketiga, grounded research (grounded theory), di mana kajian membangun pendekatan secara induktif berdasarkan informasi yang dikumpulkan langsung dari lapangan, tanpa bergantung pada pernyataan yang sudah ada. Keempat, studi kasus, yang menyelidiki fenomena, isu, atau peristiwa secara mendalam dalam konteks spesifik, seperti kasus individu, komunitas, atau peristiwa unik, untuk memperoleh wawasan terperinci. Kajian kualitatif induktif memiliki sejumlah keunggulan yang salah satunya adalah kemampuannya memberikan pemahaman mendalam tentang cara berpikir, merasakan, atau berperilaku individu/kelompok melalui analisis informasi yang kaya dan detail. Selain itu, model ini bersifat fleksibel, memungkinkan pengkaji menyesuaikan metode pengumpulan informasi (seperti wawancara atau observasi) sesuai dinamika di lapangan. Kelebihan lain adalah fokusnya pada konteks sosial, budaya, atau lingkungan, sehingga fenomena, isu, atau persitiwa tidak dipisahkan dari latar belakangnya. Hal ini membantu menghasilkan analisis yang holistik dan relevan dengan realitas subjek kajian. Meskipun bernilai, kajian kualitatif juga memiliki keterbatasan. Hasilnya sulit digeneralisasi ke populasi luas karena sampel yang kecil dan tidak dirancang untuk mewakili populasi statistik. Subjektivitas pengkaji juga menjadi tantangan, seperti keterlibatan emosional atau bias dalam interpretasi informasi, yang dapat memengaruhi objektivitas temuan. Selain itu, proses pengumpulan dan analisis informasi yang bersifat kualitatif seringkali memakan waktu lama serta memerlukan biaya lebih tinggi, terutama jika melibatkan observasi partisipatif atau studi jangka panjang.
b. Model Kajian Kualitatif Deduktif
Model ini berangkat dari pernyataan untuk kemudian diuji, diperluas, atau dipertajam melalui pengumpulan dan analisis informasi kualitatif. Berbeda dengan model penelitian kualitatif induktif—yang bertujuan membangun pendekatan baru dari data—pendekatan deduktif bersifat top-down, di mana kerangka konseptual menjadi panduan utama dalam merancang pertanyaan kajian, mengumpulkan informasi, dan menganalisis temuan. Contohnya, seorang pengkaji mungkin menggunakan pendekatan Social Learning Theory (Bandura) untuk mengeksplorasi bagaimana remaja meniru perilaku sosial melalui observasi di media sosial. Dalam hal ini, konsep-konsep kunci seperti observational learning atau reinforcement menjadi dasar penyusunan pedoman wawancara atau observasi.
Ciri utama kajian ini adalah analisis informasi yang terstruktur sesuai kategori konseptual. Misalnya, dalam studi tentang kepemimpinan transformasional, pengkaji mungkin fokus pada konsep seperti inspirational motivation atau individualized consideration saat mewawancarai manajer. Informasi kualitatif (seperti transkrip wawancara) kemudian dikodekan berdasarkan tema-tema yang telah ditetapkan dari konsep tersebut. Tujuan kajian bisa berupa verifikasi (memastikan pendekatan berlaku dalam konteks spesifik), elaborasi (menambahkan dimensi baru pada konsep), atau falsifikasi. Contohnya, kajian tentang penerapan konseptual hierarki kebutuhan Maslow pada pekerja industri kreatif mungkin mengungkap bahwa kebutuhan aktualisasi diri lebih dominan daripada kebutuhan finansial, sehingga pendekatan ini perlu disesuaikan dengan konteks tersebut.
Kelebihan model kualitatif deduktif terletak pada fokus yang jelas dan relevansi akademis. Dengan berpedoman pada konsep yang ada, pengkaji dapat menghindari kebingungan dalam menginterpretasi informasi dan langsung berkontribusi pada pengembangan literatur yang sudah mapan. Namun, model ini juga memiliki keterbatasan, seperti risiko bias konfirmasi—ketika pengkaji secara tidak sadar hanya mencari informasi yang mendukung pendekatan dan mengabaikan temuan yang bertentangan. Selain itu, struktur analisis yang kaku mungkin menghambat penemuan wawasan baru di luar kerangka konseptual awal.
Contoh aplikasi kajian kualitatif deduktif adalah studi tentang pengalaman pasien kanker yang menggunakan model tahap berduka Kübler-Ross (denial, anger, bargaining, depression, acceptance). Pengkaji dapat menganalisis narasi pasien untuk melihat apakah tahapan tersebut muncul dalam perjalanan emosional mereka. Jika ditemukan pola yang tidak sesuai (misalnya tahap acceptance muncul lebih awal), pendekatan dapat direvisi atau diperluas. Model ini pun digunakan dalam kajian kebijakan, seperti mengevaluasi penerapan teori planned behavior (Ajzen) dalam program vaksinasi dengan menggali persepsi masyarakat melalui wawancara mendalam. Kajian kualitatif deduktif paling cocok digunakan ketika pengkaji ingin mengontekstualisasikan pendekatan dalam situasi nyata atau menjawab pertanyaan spesifik yang memerlukan kedalaman kontekstual. Misalnya, menguji relevansi konsep motivasi Barat dalam budaya kolektivis Asia, atau mengeksplorasi bagaimana konsep kepemimpinan transformasional diterapkan di organisasi nirlaba. Meskipun kurang fleksibel dibanding pendekatan induktif, metode ini menjembatani kekuatan analisis kualitatif (kedalaman) dengan ketelitian kerangka konseptual, sehingga menghasilkan temuan yang tidak hanya kaya secara naratif tetapi juga terkait erat dengan pengetahuan ilmiah yang ada. Kunci keberhasilannya terletak pada keseimbangan antara kesetiaan pada konsep awal dan keterbukaan terhadap kompleksitas informasi yang mungkin mengarah pada revisi atau inovasi konseptual.
1) Penjaringan Informasi
Berikut ini beberapa teknik penjaringan informasi (sebagai data dalam kajian kualitatif) yang dapat digunakan salah satunya, sebagian, atau seluruhannya, tergantung karakter atau kepentingan/kebutuhan kajian:
- Wawancara Mendalam (In-depth Interview) sebagai salah satu teknik pengumpulan informasi dalam bentuk wawancara terbuka, di mana pengkaji menggali informasi secara rinci dari responden.
- Observasi Partisipatif (Participant Observer), di mana pengkaji terlibat langsung dalam kegiatan atau situasi yang sedang ditelaah untuk mengamati fenomena secara langsung.
- Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) yang melibatkan sekelompok orang untuk mengeksplorasi pandangan dan pengalaman mereka terkait suatu topik.
- Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari teks, arsip, atau rekaman sebagai informasi yang dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang fenomena yang dikaji.
Sampel Bola Salju (Snow Ball Sampling), yaituteknik pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anggota populasi untuk dipilih (non-probabilitas). Teknik ini juga dikenal sebagai non-random sampling. Khas teknik pengambilan sampel non-probabilitas yaitu melibatkan rantai rujukan dari satu responden ke responden lain.
2) Analisis Informasi
Analisis informasi merupakan upaya penggalian makna, pola, dan tema yang bersifat deskriptif dan naratif. Secara umum, proses analisis data kualitatif meliputi pengodean, kategorisasi, dan interpretasi makna. Hal ini memungkinkan pengkaji untuk mengorganisir dan memahami informasi secara mendalam, menghasilkan temuan yang bermakna dan relevan dengan tujuan kajian. Setiap teknik analisis memiliki kelebihan dan kelemahan tertentu, dan seringkali pengkaji menggunakan pendekatan campuran atau kombinasi dari beberapa teknik untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang informasi mereka. Pemilihan teknik analisis yang tepat bergantung pada tujuan kajian, jenis informasi yang dikumpulkan, dan kerangka konseptual pengkaji.
Beberapa teknik utama yang sering digunakan:
- Analisis Tematik
Penerapan analisis tematik dapat dilihat pada kajian tentang persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik melalui wawancara mendalam. Analisis tematik digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan melaporkan pola (tema) dalam informasi. Prosesnya meliputi membaca dan memahami informasi, membuat kode awal, mengidentifikasi tema, meninjau (review) dan mendefinisikan tema, dan menulis laporan
- Analisis Naratif
Teknik analisis ini berguna untuk memahami bagaimana individu memaknai pengalaman mereka dan konstruksi sosial yang ada di dalamnya. Analisis naratif fokus pada kisah-kisah yang diceritakan oleh responden untuk mengungkap struktur dan makna dalam pengalaman pribadi mereka. Langkah-langkah analisis ini melibatkan: pengumpulkan narasi, pengidentifikasian struktur narasi, penganalisisan peran dan fungsi dalam narasi dan penghubungkn narasi dengan konteks yang lebih luas.
- Grounded Theory (Grounded Research)
Disebut riset karena teknik analisis ini bertujuan menghasilkan pendekatan yang terkait erat dengan informasi selama proses kajian. Teknik ini sering digunakan dalam kajian yang yang bersifat eksploratif (perluasan dan sekaligus pendalaman). Pengkaji menggunakan teknik observasi langsung sebagai partisipan dari mulai penjaringan informasi hingga analisisnya. Proses analisis melibatkan pengumpulan data berkelanjutan, open coding2, axial coding3, dan selective coding4.
- Analisis Fenomenologi
Analisis fenomenologi berfokus pada pengalaman subjektif individu dan bagaimana mereka memaknai pengalaman tersebut. Pendekatan ini cocok untuk memahami esensi dari fenomena tertentu dari perspektif orang yang mengalaminya. Langkah-langkah analisis ini meliputi: penundaan asumsi dan prasangka untuk memahami pengalaman subjek secara murni (deskripsi bracketing) serta pengembangan deskripsi tentang apa yang dialami dan bagaimana pengalaman tersebut terjadi (deskripsi tekstual dan struktural).
- Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis)
Analisis wacana mengkaji cara bahasa digunakan dalam teks atau pembicaraan, dan bagaimana hal itu berkontribusi dalam tatanan sosial. Langkah-langkah analisis ini meliputi: analisis bagaimana peristiwa kebahasaan (sosio-linguistik) dalam konteks sosial untuk membentuk makna dan identitas serta pemahaman bagaimana wacana dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya, serta dampaknya pada interaksi sosial (linguistik sosiokultural).
[1] Tahap awal di mana data, seperti transkrip wawancara, dibaca dan dibagi menjadi unit-unit kecil yang bermakna. Setiap unit diberi label atau kode yang menggambarkan maknanya, tanpa mempertimbangkan hubungan antar kode. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai konsep dan kategori yang muncul dari data
[2] Setelah kode-kode awal diperoleh, tahap berikutnya adalah axial coding. Pada tahap ini, peneliti mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah ditemukan, mengelompokkan kode-kode yang memiliki kesamaan, dan mengidentifikasi kondisi, aksi, dan konsekuensi yang terkait dengan fenomena yang sedang diteliti . Tujuannya adalah untuk membangun struktur konseptual yang lebih terorganisir dari data.
[3] Tahap terakhir di mana peneliti memilih satu kategori inti yang dapat menjelaskan fenomena utama dalam penelitian. Kategori inti ini menjadi pusat dari teori yang dikembangkan, menghubungkan semua kategori dan subkategori lainnya untuk membentuk narasi yang koheren dan menjelaskan fenomena yang diteliti .
3) Model Kajian dengan Metode Paduan (Mix Methods)
Model kajian dengan metode paduan (mixed methods) adalah penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif dalam satu studi untuk menjawab pertanyaan penelitian secara holistik. Model riset ini memanfaatkan kekuatan data numerik (kuantitatif) dan informasi naratif (kualitatif) guna memperoleh pemahaman yang mendalam dan luas. Misalnya, dalam riset kesehatan masyarakat sebagai isu, periset dapat melakukan survei untuk mengukur prevalensi stunting (sebagai peristiwa) secara statistik (kuantitatif), lalu melengkapi dengan diskusi kelompok terarah (FGD) untuk memahami tantangan pola asuh dan akses gizi dari perspektif ibu-ibu (kualitatif). Integrasi kedua metode ini memungkinkan periset tidak hanya mengidentifikasi “apa” yang terjadi, tetapi juga menjelaskan “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Desain riset metode paduan bersifat fleksibel, bisa dijalankan secara sekuensial (tahap berurutan) atau konkuren (bersamaan). Contoh desain sekuensial adalah metode eksplanatori, di mana periset pertama kali mengumpulkan data kuantitatif (misal: survei produktivitas karyawan), lalu menggunakan wawancara kualitatif untuk menjelaskan temuan yang tidak terduga. Sebaliknya, desain konkuren seperti triangulasi melibatkan pengumpulan data kuantitatif dan infromasi kualitatif secara paralel, seperti mengobservasi interaksi guru-siswa di kelas (kualitatif) sambil menganalisis nilai ujian siswa (kuantitatif) untuk menilai efektivitas metode pembelajaran. Model ini pun didasari filosofi pragmatis, di mana fokus utama adalah menjawab pertanyaan riset secara praktis, bukan terikat pada perdebatan paradigma epistemologis.
Kelebihan utama metode paduan terletak pada triangulasi, di mana temuan dari kedua metode saling melengkapi (komplementer) atau memvalidasi. Contohnya, data kuantitatif mungkin menunjukkan 70% pasien puas dengan layanan rumah sakit, sementara wawancara kualitatif mengungkap keluhan tersembunyi tentang waktu tunggu yang lama. Paduan ini memberikan deskripsi utuh yang tidak mungkin diperoleh dari satu metode saja. Selain itu, metode paduan ideal untuk menangani fenomena, isu, atau peristiwa multidimensional, seperti evaluasi kebijakan publik atau studi perilaku konsumen, yang memerlukan analisis statistik dan pemahaman kontekstual. Namun, model ini juga memiliki tantangan, seperti kompleksitas desain, biaya dan waktu yang lebih besar, serta kesulitan mengintegrasikan temuan yang mungkin bertolak belakang. Metode paduan sering digunakan dalam bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan bisnis. Misalnya, perusahaan dapat menganalisis data penjualan (kuantitatif) untuk mengidentifikasi tren pasar, lalu melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan konsumen (kualitatif) untuk menggali motivasi pembelian. Dalam riset pendidikan, kombinasi nilai ujian (kuantitatif) dan observasi kelas (kualitatif) membantu mengidentifikasi hubungan antara metode pengajaran dan hasil belajar. Meskipun memerlukan keahlian dalam kedua model, metode paduan menjadi solusi efektif untuk pertanyaan riset yang kompleks, di mana model tunggal tidak cukup. Dengan perencanaan yang matang dan integrasi antara data dan informasi yang koheren, model ini mampu menghasilkan wawasan yang komprehensif dan relevan secara praktis.
3. Desain Riset
Desain riset di lingkungan STIT Manggala, riset—apapun metode yang digunakan, baik kuantitatif, kualitatif, maupun paduan—harus berlandaskan pada integrasi empat sumber pengetahuan utama: penalaran rasional, pengetahuan empirik, intuisi ilmiah, dan yang terpenting, bersandar kepada Alquran dan Hadis (nash) sebagai sumber nilai dan kebenaran ilahiah. Keempat unsur ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dalam membentuk kerangka epistemologis yang utuh. Rasionalitas menjamin koherensi logik, observasi empirik menguji validitas faktual, intuisi membuka ruang kreativitas dan makna, sementara nash memberikan arah etik dan metafisik yang menjaga riset tetap berada dalam koridor tauhid. Dengan pendekatan ini, riset di STIT Manggala tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang sahih secara akademik, tetapi juga bermakna dalam membangun peradaban Islami yang berkeadaban dan berkeadilan.
a. Metode
Beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam riset adalah kebutuhan atau tujuan riset, sasaran riset (tempat-waktu (tempus-lokus), data atau informan), serta biaya riset. Dengan demikian, periset secara umum dapat memilih dua jenis model utama dalam riset seperti berikut:
1. Silogisme Deduksi
Dimulai dari penetapan teori (prinsip, kaidah, dalil) guna membangun hipotesis yang mengandung pernyataan atau masalah yang harus dipecahkan atau dibuktikan benar atau tidaknya (proposisi). Umumnya dalam model penelitian deduktif dibutuhkan pernyataan yang dianggap sebagai dasar kebenaran tanpa memerlukan bukti atau pembuktian (postulat), yang sering digunakan sebagai titik awal dalam membangun sebuah sistem pengetahuan atau logika. Postulat tidak diuji melalui metode ilmiah, melainkan ditetapkan sebagai dugaan awal (dasar) yang diterima tanpa disangkal. Riset ini bersifat kuantitatif deduksi atomistik. Riset seperti ini membutuhkan pengujian (ekperimen) atau pengamatan (observasi).
2. Induksi
Dimulai dari penetapan pendekatan (konseptual) guna membangun asumsi yang mengandung proposisi. Riset ini bersifat kualitatif dengan menguantifikasikan hal-hal subjektif oleh kiraan statistik atau tanpa statistik parametrik maupun nonparametrik dan hasilnya bersifat generalisasi. Riset seperti ini membutuhkan kajian (studi atau telaahan). Bila menghendaki hasil yang bersifat intersubjektif, holistik dan multidimensional maka gunakan metode paduan (mix nethod) yang bernuansa multidimensional.
b. Kerangka Teoretik dan Konseptual
Dipandang urgen dalam membangun kerangka teoretik dalam sains maupun konseptual dalam kajian, yaitu meninjau para periset terdahulu yang berkenaan dengan topik dalam riset yang digarap. Pentingnya menelaah periset terdahulu guna menegaskan persamaan namun berbeda dalam proposisi, waktu dan tempat, dan seterusnya. Perbedaan kerangka teoretik dengan kerangka konseptual adalah kerangka teoretik berbasis teori yang sudah ada dari literatur, sedangkan kerangka konseptual cenderung dibangun oleh pengkaji sendiri untuk menjelaskan hubungan antarvariabel sebagai landasan dalam riset spesifik. Baik kerangka teoretik maupun konseptual biasanya disebut tinjauan pustaka.
1) Kerangka Teoretik
Kerangka teoretik merupakan fondasi penelitian yang berbasis pada teori-teori yang sudah ada dari literatur akademis. Fungsinya adalah untuk menjelaskan fenomena penelitian melalui lensa teori yang relevan yang biasanya mengacu pada teori yang telah mapan dan teruji dalam literatur. Kerangka teoretik berupa struktur teoretis, yaitu terdiri dari teori-teori (mapan) yang relevan dengan topik penelitian. Selain itu, berfungsi mengarahkan pertanyaan penelitian, dan menganalisis data. Kerangka ini menghubungkan penelitian dengan pengetahuan yang sudah ada di bidang terkait dan membantu peneliti menjelaskan mengapa atau bagaimana suatu fenomena, isu, atau peristiwa itu terjadi.
Fungsi utama kerangka teoretik adalah sebagai berikut:
- Panduan Penelitian: Peneliti dipandu dalam merumuskan pertanyaan, hipotesis, dan desain penelitian. Di samping itu, membantu pula dalam menentukan variabel atau konsep kunci yang akan diteliti.
- Dasar Analisis: Kerangka teoretik menyediakan lensa untuk menginterpretasi data dan hasil penelitian. Selain itu, juga membantu peneliti dalam menjelaskan hubungan antarprinsip, kaidah, atau dalil, juga fenomena, isu, atau peristiwa.
- Kontektualisasi: Kerangka teoretik akan menempatkan penelitian dalam konteks literatur yang sudah ada. Juga, menunjukkan kontribusi penelitian terhadap pengembangan teori atau bidang ilmu.
Cara mengembangkan kerangka teoretik adalah sebagai berikut:
- Mengidentifikasi Teori yang Relevan: Pilihlah teori dari literatur yang berkaitan langsung dengan topik penelitian. Pastikan teori yang dipili telah diuji dan diakui dalam bidang ilmu peneliti. Contoh: Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) untuk studi tentang keputusan konsumen.
- Menentukan Konsep Inti: Ambillah konsep-konsep kunci dari teori tersebut. Misalnya, dalam teori sosialisasi, konsep seperti nilai, norma, dan interaksi mungkin menjadi fokus. Hindari “memaksakan” teori yang tidak sesuai hanya untuk memperkuat argumen.
- Menghubungkannya dengan Penelitian: Jelaskan bagaimana teori tersebut mendekripsikan atau memprediksi fenomena, isu, atau peristiwa yang diteliti. Jika menggunakan lebih dari satu teori, integrasikanlah mereka dengan logis.
- Visualisasi (Opsional): Buatlah diagram untuk menggambarkan hubungan antarkonsep/teori.
Contoh kerangka teoretik, seperti penelitian tentang minat baca anak yang menggunakan Teori Motivasi (Deci & Ryan) guna menjelaskan peran lingkungan keluarga dan intrinsik motivasi dalam membentuk kebiasaan membaca. Contoh lain, misalnya studi tentang kepemimpinan yang mengacu pada Teori Kepemimpinan Transformasional (Bass & Avolio) untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja tim.
2) Kerangka Konseptual
Meskipun kajian kualitatif bersifat eksploratif dan induktif, kerangka konseptual tetap diperlukan untuk memberikan batasan konseptual pada pertanyaan kajian, membantu mengidentifikasi pola atau tema selama analisis informasi, dan memastikan temuan penelitian terkait dengan pengetahuan yang sudah mapan. Kerangka konseptual adalah model atau struktur konsep yang dibangun oleh pengkaji untuk menjelaskan hubungan antar variabel atau fenomena dalam kajian. Kerangka ini dapat menggabungkan beberapa pendekatan yang ada atau bahkan menciptakan suatu pendekatan atau konsep baru yang sesuai dengan konteks kajian. Sebagai contoh, pengkaji dapat menggabungkan konsep ekologi Bronfenbrenner dengan pendekatan ketahanan keluarga untuk mempelajari dampak pandemi pada dinamika rumah tangga.
Perbedaan utama antara kerangka teoretik dan teori konseptual terletak pada sumber, fungsi, fleksibilitas, dan visualisasi. Kerangka teoretik menggunakan teori yang sudah mapan dari literatur, sedangkan teori konseptual dibangun oleh peneliti dan bisa menggabungkan konsep-konsep yang ada sebagai pendekatan atau bahkan menciptakan konsep baru. Fungsi kerangka teoretik adalah untuk menjelaskan “mengapa” suatu fenomena terjadi berdasarkan teori yang ada, sementara teori konseptual berfungsi untuk menjelaskan “bagaimana” variabel atau fenomena saling terkait dalam konteks yang spesifik. Dalam hal fleksibilitas, kerangka teoretik cenderung lebih kaku karena mengikuti struktur teori yang sudah ada, sedangkan kerangka konseptual lebih fleksibel dan dapat diadaptasi sesuai dengan kebutuhan kajian. Visualisasi kerangka konseptual seringkali lebih umum ditemukan dalam bentuk diagram atau model hubungan konsep, sementara kerangka teoretik jarang divisualisasikan.
Sebagai contoh, dalam riset tentang prestasi siswa, kerangka teoretik dapat menggunakan Self-Determination Theory (Deci & Ryan) untuk menjelaskan peran motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam prestasi akademik. Sementara itu, dalam kerangka konseptual, pengkaji dapat membuat model yang menghubungkan faktor internal seperti motivasi dan kecerdasan emosional dengan faktor eksternal seperti dukungan guru dan akses teknologi, serta variabel moderator seperti status sosial-ekonomi. Model ini menggabungkan konsep motivasi yang sudah mapan dengan konsep-konsep eksternal yang relevan dengan konteks lokal.
Kapan masing-masing digunakan? Kerangka teoretik digunakan saat penelitian bertujuan untuk menguji atau memperluas teori yang sudah ada. Sedangkan kerangka konseptual digunakan saat fenomena kajian itu kompleks dan memerlukan integrasi multidisiplin, seperti mengkaji dampak perubahan iklim pada kesehatan mental dengan menggabungkan konsep lingkungan, psikologi, dan sosiologi. Proses pengembangan kerangka teoretik dimulai dengan mengidentifikasi teori yang relevan dari tinjauan literatur, kemudian memilih teori yang paling sesuai dengan pertanyaan penelitian, dan menjelaskan bagaimana teori tersebut menjelaskan variabel penelitian. Sementara itu, pengembangan kerangka konseptual dimulai dengan identifikasi konsep atau variabel kunci dari literatur atau observasi lapangan, dilanjutkan dengan menentukan hubungan antar konsep (misalnya: sebab-akibat, moderasi, mediasi), dan akhirnya membuat diagram alur atau model untuk memvisualisasikan hubungan tersebut. Walhasil, kerangka teoretik berfungsi sebagai “alat” untuk menghubungkan penelitian dengan teori yang sudah ada, sementara kerangka konseptual adalah “peta jalan” yang dirancang oleh pengkaji untuk menjelaskan fenomena secara spesifik. Kerangka teoretik menjawab pertanyaan “Apa teori yang mendasari penelitian ini?”, sedangkan kerangka konseptual menjawab “Bagaimana konsep-konsep dalam kajian ini saling terkait?”. Keduanya dapat digunakan bersamaan pada model riset dengan metode paduan, di mana kajian pustaka mungkin memasukkan elemen-elemen dari kerangka teoretik namun diperkaya dengan konsep-konsep tambahan yang unik untuk konteks riset.
c. Kerangka Analitik
Kerangka analitik adalah suatu struktur yang digunakan untuk menganalisis data atau informasi dalam sebuah riset. Kerangka ini memberikan pedoman bagi periset untuk mengorganisasi, menganalisis, dan menginterpretasi data atau informasi yang telah dikumpulkan. Kerangka analitik berfungsi untuk membimbing periset dalam menjawab pertanyaan penelitian atau kajian dan mencapai tujuannya secara sistematis. Kerangka ini bisa berbeda antara penelitian kuantitatif dan kajian kualitatif, meskipun prinsip dasar yang digunakan tetap sama, yaitu untuk memberikan arah analisis yang jelas. Dalam model riset kuantitatif, kerangka analitik berfokus pada variabel yang terukur dan hubungan antar variabel tersebut, sering kali didukung oleh teori yang mengarah pada pengujian hipotesis melalui analisis statistik. Sedangkan dalam model riset kualitatif, kerangka analitik lebih fleksibel dan berfokus pada pemahaman mendalam, dengan menekankan pengumpulan informasi deskriptif dan analisis tematik untuk mengungkapkan pola-pola atau makna yang terkandung dalam informasi. Kedua model ini memiliki peran penting dalam riset, dan meskipun pendekatan analitiknya berbeda, keduanya bertujuan untuk menghasilkan pemahaman yang valid dan komprehensif mengenai fenomena yang ditelaah.
1) Kerangka Analitik dalam Riset Kuantitatif
Kerangka analitik dalam riset kuantitatif, setelah pengetiti menetukan teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis yang akan diuji, maka berikut adalah komponen penting dalam kerangka analitik riset kuantitatif:
- Variabel: Peneliti mengidentifikasi variabel independen (variabel yang memengaruhi) dan variabel dependen (variabel yang dipengaruhi).
- Hipotesis: Berdasarkan teori yang ada, peneliti merumuskan hipotesis yang menghubungkan variabel-variabel tersebut.
- Model Teoritis: Kerangka teoretik yang menggambarkan hubungan antar variabel.
- Desain Penelitian: Menentukan metode dan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data, seperti survei atau eksperimen.
- Analisis Statistik: Menggunakan teknik statistik untuk menguji hipotesis dan memvalidasi model teoritis.
Contoh: Jika seorang peneliti ingin mempelajari pengaruh pendidikan terhadap penghasilan, kerangka analitiknya bisa mencakup variabel seperti tingkat pendidikan (independen) dan penghasilan (dependen), serta hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula penghasilan seseorang.
2) Kerangka Analitik dalam Riset Kualitatif
Dalam riset kualitatif, kerangka analitik lebih berfokus pada pemahaman mendalam tentang fenomena yang diteliti melalui pengumpulan informasi deskriptif, seperti wawancara mendalam, observasi, atau studi kasus. Kerangka ini tidak mengutamakan hubungan antar variabel secara statistik, melainkan berfokus pada interpretasi dan makna dari data yang dikumpulkan. Setelah pengkaji menetukan kerangka konseptual untuk memilih pendekatan atau paradigma yang akan digunakan untuk memahami informasi, seperti pendekatan fenomenologi, pendekatan kritis, atau pendekatan konstruktionisme sosial, maka berikut adalah beberapa komponen yang ada dalam kerangka analitik kualitatif:
- Pertanyaan Kajain: Fokus pada pertanyaan terbuka yang mengarah pada pemahaman lebih dalam terhadap perspektif dan pengalaman individu atau kelompok.
- Proses Pengumpulan Infromasi: Metode seperti wawancara mendalam, diskusi kelompok fokus (focus group discussions), atau observasi partisipatif.
- Analisis Tematik: Proses pengkodean dan pengkategorian data untuk menemukan pola, tema, atau konsep yang muncul dari data.
- Penyajian Temuan: Pengkaji menyajikan hasil temuan dalam bentuk naratif yang memberikan pemahaman kontekstual terhadap fenomena yang diteliti.
Contoh: Jika pengkaji ingin memahami bagaimana pengalaman mahasiswa internasional di universitas asing, kerangka analitik kualitatifnya bisa berfokus pada pengalaman pribadi mahasiswa, kendala yang dihadapi, dan cara mereka menyesuaikan diri, tanpa mengukur hubungan antar variabel secara statistik.
d. Identifikasi Masalah (Problematika)
Secara praktis, identifikasi masalah beranjak dari hirauan ilmu yang ditekuni terhadap peristiwa, isu, atau fenomena yang terjadi. Periset berpersepsi bahwa ada situasi ketidaksesuaian (discrepancy) aktual dengan ideal, artinya antara yang ada (what is) dengan seharusnya ada (should be) atau apa yang dibutuhkan lingkungan sekitar dari pengetahuan atau ilmu yang dimiliki untuk mengatasi masalah. Sebelum merumuskan masalah. Mulailah dengan proses identifikasi masalah, yaitu sebagai berikut:
- Apakah lingkungan sekitar (masyarakat) berpersepsi bahwa memang sesuatu itu menjadi masalah/problematik dalam kehidupan (?)
- Apakah sebuah idea/gagasan ilmu atau pengetahuan yang dimiliki layak (feasible) ditawarkan kepada lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik (?)
- Periset justru dipersepsi layak atau pantas (proper) bahkan dipesan/diamanati untuk membantu kedua poin (di atas) itu.
Secara teoretik, suatu peristiwa diperkirakan problematik atas dasar 1) pengalaman atau pengetahuan periset; 2) asumsi periset terhadap suatu rezim; 3) kesetaraan persepsi periset dan masyarakat atau profesional; atau 4) informasi media massa. Selanjutnya sebelum merumuskan masalah utama, lakukan indentifikasi hal-hal berikut sebagai prariset:
- Sumber masalah atau sebab (utama) yang menjadi pengaruh atau berkontribusi terhadap peristiwa yang terjadi saat ini, saat lampau, dan prediksi yang akan datang.
- Sejauhmana urgensi pencarian solusi yang diajukan.
- Dukungan sumber kepustakaan (sumber sekunder).
- Keunikan masalah (eksklusif bentuk atau jenisnya atau tidak ada persamaan).
- Kemungkinannya menjadi pengetahuan atau model baru.
- Kemudahan mendapat data/informasi primer.
Cakupan (keluasan, batasan, atau fokus) masalah yang hendak dikaji.
e. Perumusan Masalah
Tantangan utama dalam merumuskan masalah agar bisa ditorehkan di atas kertas setelah teridentifikasi adalah membangun argumen, maka prariset menjadi sangat urgen. Patut kiranya membaca kembali beberapa hal filosofis menurut filsafat ilmu. Skenario-skenario atau beberapa pilihan bisa ditempuh seperti diuraikan di bawah ini.
1. Mainkan Common Sense (Akal Sehat)
Sebagai periset (knower) harus memilik quanta of knowledge atau bahkan intuisi periset sebagai sivitas akademika STIT Manggala, yaitu pengetahuan mendalam periset terhadap obyek (knowing) yang diteliti, seperti hal-hal berikut:
- Menurut rasio secara apriori sintesis (simpulan sementara sebelum mengalami) disebut pula frame of reference.
- Pengalaman pribadi berupa preseden-preseden (hal-hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh) disebut frame of experience periset.
- Posteriori sintesis (tidak bergantung pada suatu pengalaman tertentu).
2. Petik Opini atau Uji Publik(Public Opinion)
Dengan melakukan hal-hal berikut sebelum riset:
- Diskusikan dengan para pihak yang dianggap dewasa berpikir (knowlede based experts dengan prinsip tak pilih-pilih yang bergelar akademik, namun siapapun yang diasumsikan profesional, komunitas, juga sejawat atau sebaya guna memperoleh sintesis atau paduan (campuran) berbagai pengertian sehingga merupakan kesatuan selaras.
- Telaah media sosial guna mendefinisikan apa yang dipercaya sebagai kebenaran, serta menyediakan jawaban atas kontradiksi-kontradiksi kepentingan (individu atau golongan).
3. Pegang Prinsip Majority
Tentukan jumlah opini terbanyak (kebenaran mayoritas) menurut kriteria atau indikator/indikan tertentu dalam masalah itu dibandingkan dengan jumlah sisanya yang tidak memperlihatkan indikator/indikan itu. Dengan berbekal pengetahuan kekhasan metodologi dalam bidang keilmuan atau program studi yang ditekuninya, lakukanlah hal-hal berikut:
- Apakah masalah ini bersifat nomotetis, yaitu berusaha menyusun hukum-hukum universal dan obyektif (periset bersifat atomistik (deduktif) dengan metodologi mandiri, yaitu tidak to adopt, to absorb, to adapt, atau to borrow kepada/dari disiplin yang lain dan rumusan masalahnya harus mantap dan pasti), yakni: a) bertolak atau menetapkan hukum-hukum universal berlaku, atau b) mempelajari keabstrakannya dan mencoba menemukan unsur-unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataannya yang konkrit kapan pun dan di mana pun, c) hasil riset bisa ditentukan bahwa hukum yang berlaku saat ini bisa terpatahkan, dikuatkan, dikembangkan, atau ditemukan kebaruan; atau
- Apakah masalah ini bersifat ideografis, yaitu unik/eksklusif bentuk atau jenisnya atau tidak ada persamaannya (perisetan bersifat holistik (induktif) dengan metodologi to adopt, to absorb, to adapt, atau to borrow kepada/dari ilmu yang lain serta rumusan masalahnya emergent (sesuatu yang mengentara), membutuhkan interpretasi dan intersubjektifitas), mungkin terdapat hal-hal sebagai berikut: a) sebagai akibat dari seluruh komponen dalam sistem, b) kontribusi dari suatu peristiwa kepada peristiwa lainnya, c) peristiwa descrepancy sebagai studi kasus, d) hasil riset bisa saja lama tidak sertamerta terpatahkan, namun dikuatkan, dikembangkan, atau ditemukan kebaruan.
- Apakah masalah ini memerlukan hal-hal berikut: a) statistik parametrik atau nonparametrik, b) eksperimen atau observasi tanpa statistik (tangible dan exact), c) tanpa statistik dengan sowball sampling melalui inter/multidiciplinary focus/center discussion, atau memadukan dua dia antara tiga atau ketiga-tiganya.
4. Bentuk Rumusan Masalah
- Deskriptif (Mencari Tahu tentang “Apa”)
Dibuat jika riset menggambarkan karakteristik suatu fenomena, misalnya, keunikan suatu fenomena dari bentuk dan jenisnya yang eksklusif atau tiada pembandingnya. Sesuatu tidak dapat dikatakan relatif jika ada pembandingnya. Cantik atau tidak cakep itu dikatakan relatif ternyata ada perspektif berbeda secara subjektif. Itulah “unik”. Hasil riset ini menyajikan informasi yang seperti biasa-biasa namun ternyata luar biasa tentang “apa” sesuatu itu dan simpulannya berupa abstraksi fenomena itu, tidak membuat prediksi, tidak membangun hubungan sebab akibat. Mengangkat suatu fenomena dengan: bisa menyajikan informasi (kualitatif) intersubjektifitas tentang bentuk eksklusif, bisa data statistik kuantifikasi tentang jenis, atau bisa keduanya (kualitatif-kuantitatif). Riset ini cenderung obervasional dan kurang tepat untuk eksperimental. Lantas, jika fenomena itu diteliti menimbang ada problematikanya, maka guna penilitan ini adalah membawa pada pengetahuan baru atau kesadaran yang mungkin tidak diketahui atau ditemui, atau memperjelas gejala sosial, keunikan alam, keunikan bangunan. Riset ini tidak memerlukan hipotesis, lantaran pengujian serta penulisannya baru akan dilakukan setelah terjun di lapangan biasanya grounded research. Rumusan masalah bisa dituliskan seperti:
- Sebaik apakah …?
- Seberapa besarkah …?
- Sejauh manakah …?
- Bagaimana struktur … bisa …?
- Bagaimana konstruksi … mampu menarik minat …?
- Siapakah …?
- Apa kontribusi … dalam …?
- Komparatif
Riset ini membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda. Variabel adalah yang objek riset atau media yang diteliti. Riset ini terfokus dari dalam berbentuk abstrak maupun real, bernilai varian dinamis atau (bersikap dapat) berubah-ubah. Selain itu, merupakan konsep bernilai varian, yaitu aspek/kategori tertentu, seperti jenis, sifat, bentuk sebagai atribut dari orang atau sesuatu yang dapat disimpulkan. Variabel terdiri dari jenis:
- kuantitatif yang diklasifikasikan dalam dua kelompok berkaitan yang berkesinambungan, yaitu diskrit: data pengkategorian atau pembedaan atau pengelompokkan jenis tertentu dan kontinu: data nilai matematis (rasio, skala, ordinal, nominal dan internal); dan
- kualitatif, yaitu tentang subjek riset mengenai informasi jenis, sifat, bentuk sebagai aspek/kategori tentang subjek tak terukur (tidak memiliki parameter) menuju kesimpulan.
Spesifisitas variabel, dapat berupa:
- dependen: variabel tidak bebas, terikat, mempengaruhi dengan setiap variabel lainnya;
- independen: dipengaruhi dengan kuat oleh variabel dependen yang akan membawa perubahan, hasil keterikatan oleh variabel dependen;
- moderator: keterkaitan proses antara variabel bebas dengan terikat sehingga memperkuat ketepatan proses kinerja perisetan;
- intervening: sejumlah pengaruh pada hubungan antara variabel terikat dengan bebas yang tidak bisa diamati ataupun diukur; kedua variabel tersebut akan menghasilkan suatu informasi dengan cara logika ataupun analisis lainnya;
- kontrol: pengendali hubungan variabel bebas pada terikat tidak berpengaruh faktor luar secara konstan, nilai dan hasil variabel kontrol adalah nyata tidak terkait oleh media manapun.
Populasi adalah keseluruhan subyek perisetan, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi tersebut sebagai wakil/pemercontoh dari subyek itu. Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari satuan-satuan atau individu-individu (unit analisis) yang karakteristiknya hendak diteliti dapat berupa orang-orang, institusi-institusi, benda-benda, dst. Rumusan masalanya dapat diterakan sebagai berikut:
- Satu variabel pada dua sampel: Adakah perbedaan produktivitas kerja antara pegawai negeri dengan swasta?
- Dua variabel pada dua sampel: Adakah perbedaan kemampuan dan disiplin kerja antara pegawai swasta nasional dan perusahaan asing?
- Satu variabel pada tiga sampel: Adakah perbedaan daya tahan berdiri pelayan toko yang berasal dari kota, desa dan gunung?
- Dua variabel pada tiga sampel: Adakah perbedaan motivasi belajar dan hasil belajar antar murid yang berasal dari keluarga Guru, Pegawai Swasta, dan Pedagang?
- Satu variabel untuk dua kelompok, pada tiga sampel: Adakah perbedaan kompetensi profesional guru dan kepala sekolah antara SD, SMP, dan SLTA?
Cermatlah dalam berpikir komparatif jangan tertukar dengan deskriptif. Misalnya: Apa persamaan dan perbedaan aliran filsafat Barat dengan Islam? Rumusan seperti ini ibarat menyamakan dan membedakan laki-laki dan perempuan. Hasilnya tidak ada variabel yang perlu dibandingkan, karena rumusan seperti ini adalah riset deskriptif.Cermatlah dalam berpikir apakah perisetan ini observasi atau eksperimen (?) Observasi: aktivitas pengamatan periset terhadap subyek secara langsung dan detail gunamenemukan informasi mengenai obyek tertentu. Eksperimen: atau percobaan, periset sengaja memberikan suatu perlakuan (treatment) atau intervensi kepada subjek risey dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh, akibat, atau pembenaran atas perlakuan tersebut. Unit eksperimen, unit pengamatan, dan unit analisis dalam eksperimen dapat merupakan individu atau agregat individu (kelompok).
- Asosiatif
Riset ini bersifat hubungan antara dua variabel atau lebih, bisa simetris, kausal, maupun hubungan timbal balik. Riset ini mempunyai derajat tertinggi dibandingkan diskriptif dan komparatif karena berupaya membangun suatu teori guna menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala. Data dijaring berbentuk kuantitatif angka atau informasi kualitatif yang diangkakan (dikuantifikasi).
- Hubungan simetris adalah hubungan antara dua variabel atau lebih yang kebetulan munculnya bersamaan. Bukan hubungan kausal ataupun interaktif. Contoh:
- Adakah hubungan antara banyaknya semut dipohon dengan tingkat manisnya buah?
- Adakah hubungan antara jumlah payung yang terjual dengan jumlah kejahatan?
- Adakah hubungan antara kedatangan burung gagak di atas genting dengan pertanda buruk yang akan menimpa seseorang? (Sebagian etnis Jawa percaya, jika burung gagak bertengger di atas genting rumah seseorang, maka orang – orang di rumah itu akan sial).
- Adakah hubungan antara kebiasaan duduk di depan rumah dengan jodoh di masa mendatang? (Sebagian etnis Sunda percaya, jika ada orang duduk di depan pintu, maka dia akan kesulitan mendapat jodoh).
- Adakah hubungan antara kedatangan semut hitam yang jumlahnya banyak di rumah dengan rezeki yang akan didapatkan? (Sebagian etnis Sunda percaya bahwa semut hitam adalah tanda rejeki akan datang).
- Adakah hubungan antara desain bangunan sudut runcing di rumah dengan sakit kepala? (Sebagian etnis Sunda percaya bahwa sudut runcing di rumah pembawa rasa sakit kepala menahun).
- Hubungan kausal adalah hubungan bersifat sebab akibat. Ada variabel independen (bebas) berpengaruh terhadap variabel dependen (terikat). Contoh:
- Adakah pengaruh sistem penggajian terhadap prestasi kerja?
- Seberapa besar pengaruh tata ruang kantor terhadap efisiensi kerja karyawan?
- Adakah pengaruh pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak?
- Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan memperoleh pekerjaan?
- Bagaimana pengaruh model pembelajaran yang diterapkan guru terhadap tingkat prestasi siswa? Jika model pembelajaran bagus maka kemungkinan besar prestasi siswa meningkat. Jika model pembelajaran dari guru buruk, maka kemungkinan prestasi siswa menurun. Tidak bisa dibalik dengan: jika prestasi belajar siswa meningkat berarti model pembelajaran guru baik, belum tentu. Bisa saja orang tuanya di rumah mendatangkan guru privat khusus sehingga si anak lebih pandai dari teman – temannya.
- Adakah pengaruh sistem ujian nasional terhadap tingkat kelulusan siswa? jika soal ujiannya mudah maka banyak siswa yang akan lulus, atau sebaliknya jika soal ujiannya sulit maka banyak siswa yang tidak akan lulus. Tidak bisa dibalik: jika tingkat kelulusan siswa banyak maka soal ujian mudah. Belum tentu, bisa jadi banyak siswa yang melakukan kecurangan?
- Hubungan Timbal Balik atau Interaktif adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Disini tidak diketahui mana variabel dependen dan variabel independen. Antara sebab dan akibat bisa dibalik atau yang satu mempengaruhi yang lain. Contoh:
- Hubungan antara motivasi dengan prestasi. Disini dapat dinyatakan motivasi mempengaruhi prestasi dan juga prestasi mempengaruhi motivasi.
- Hubungan antara kecerdasan dengan kakayaan. Kecerdasan dapat menyebabkan kaya, demikian juga orang kaya dapat meningkatkan kecerdasan karena gizi terpenuhi.
- Hubungan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pengeluaran seseorang. Jika seseorang memiliki penghasilan besar maka bisa jadi pengeluarannya juga besar. Sebaliknya, jika seseorang memiliki pengeluaran besar maka bisa dipastikan gajinya perbulan juga besar. Mana mungkin gajinya kecil jika pengeluarannya besar?
C. Penutup
Pemahaman terhadap positivisme dan postpositivisme bukan sekadar wacana filsafat ilmu, melainkan menjadi fondasi metodologis yang penting bagi pengembangan riset yang berkualitas, khususnya di lingkungan STIT Manggala. Di lingkungan ini, riset—apapun metode yang digunakan, baik kuantitatif, kualitatif, maupun paduan—harus berlandaskan pada integrasi empat sumber pengetahuan utama: penalaran rasional, pengetahuan empirik, intuisi ilmiah, dan yang terpenting, bersandar kepada Alquran dan Hadis (nash) sebagai sumber nilai dan kebenaran ilahiah. Rasionalitas menjamin koherensi logik, observasi empirik menguji validitas faktual, intuisi membuka ruang kreativitas dan makna, sementara nash memberikan arah etik dan metafisik yang menjaga riset tetap dalam koridor tauhid. Dengan pendekatan epistemologis yang utuh ini, riset di STIT Manggala tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang sahih secara akademik, tetapi juga bermakna dalam membangun peradaban Islami yang berkeadaban dan berkeadilan. Perguruan tinggi Islam harus membangun ekosistem riset yang tidak hanya mengandalkan metode ilmiah yang ketat, tetapi juga membuka ruang refleksi, kritik, dan spiritualitas dalam kerangka Tri Dharma. Dengan demikian, riset menjadi ikhtiar intelektual dan moral untuk menghadirkan ilmu yang mencerahkan, membebaskan, dan menebar kemaslahatan bagi umat dan bangsa.
Kutipan kerja diambil dari:
Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Barnett, R. (2000). Realizing the University in an Age of Supercomplexity. Buckingham: Open University Press.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of Biomedical Ethics (8th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Comte, A. (1853). The Positive Philosophy of Auguste Comte. London: Chapman.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education. New York: Macmillan.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.
Gadamer, H.-G. (1960). Truth and Method. Tübingen: Mohr Siebeck.
Harding, S. (2015). Objectivity and Diversity: Another Logic of Scientific Research. University of Chicago Press.
Horkheimer, M. (1937). Traditional and Critical Theory. In Critical Theory: Selected Essays.
Irawati, D., Natsir, M., & Haryanti, T. (2021). Epistemologi Islam dalam Perspektif Positivisme dan Postpositivisme. Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, 5(2), 133–149.
Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility. Chicago: University of Chicago Press.
Kaelan. (2012). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Karmillah, K. (2020). Positivisme dalam Pendidikan Islam. Jurnal Filsafat Agama, 1(1), 45–58.
Klein, J. T. (2010). Creating Interdisciplinary Campus Cultures. San Francisco: Jossey-Bass.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The Methodology of Scientific Research Programmes. Cambridge: Cambridge University Press.
Morin, E. (2008). On Complexity. Cresskill: Hampton Press.
Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred. New York: Crossroad.
Popper, K. R. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson.
Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.
Sardar, Z. (1989). Explorations in Islamic Science. London: Mansell.
Suriasumantri, J. S. (1984). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Suriasumantri, J. S. (2003).Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Fenomena ini merupakan kritik terhadap ketidakkonsistenan positivism yang dibangun sendiri oleh Aguste Comte. ↩︎
- Tahap awal di mana data, seperti transkrip wawancara, dibaca dan dibagi menjadi unit-unit kecil yang bermakna. Setiap unit diberi label atau kode yang menggambarkan maknanya, tanpa mempertimbangkan hubungan antar kode. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai konsep dan kategori yang muncul dari data. ↩︎
- Setelah kode-kode awal diperoleh, tahap berikutnya adalah axial coding. Pada tahap ini, peneliti mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah ditemukan, mengelompokkan kode-kode yang memiliki kesamaan, dan mengidentifikasi kondisi, aksi, dan konsekuensi yang terkait dengan fenomena yang sedang diteliti . Tujuannya adalah untuk membangun struktur konseptual yang lebih terorganisir dari data. ↩︎
- Tahap terakhir di mana peneliti memilih satu kategori inti yang dapat menjelaskan fenomena utama dalam penelitian. Kategori inti ini menjadi pusat dari teori yang dikembangkan, menghubungkan semua kategori dan subkategori lainnya untuk membentuk narasi yang koheren dan menjelaskan fenomena yang diteliti . ↩︎