EVOLUSI PEMAHAMAN DAN METODOLOGI POSITIVISME DALAM PENELITIAN ILMIAH

https://jurnal.manggala.ac.id

Pemahaman tentang kebenaran pemikiran sejatinya tidak pernah berhenti. Pemahaman ini bersifat kontekstual, di mana pemahaman lama saling terkait dengan pemahaman baru, dan pemahaman paling akhir pun bukanlah yang sesungguhnya, karena akan terus berkembang tanpa batas. Kebenaran pemikiran tidak dapat disatukan, digeneralisasi, atau dibuat absolut, sebab hal tersebut akan menyingkirkan pemikiran lain yang mungkin juga benar. Oleh karena itu, manusia perlu terus belajar dan memahami perubahan yang terjadi. Proses pembelajaran ini melibatkan penyusunan gagasan berdasarkan rasio, pengalaman empiris, intuisi, serta teks suci yang diyakininya, sehingga diperoleh pemahaman baru yang orisinal dan mendorong lahirnya kebaruan yang berkelanjutan demi kesejahteraan. Diskusi mengenai metodologi riset berakar dari perkembangan positivisme, yang merupakan aliran filsafat ilmu yang menekankan pentingnya pengamatan empiris dalam memahami kebenaran ilmiah. Aliran ini berkembang melalui beberapa tahapan, dengan kontribusi dari para tokoh berikut:

  1. Positivisme Logika Ekstrim1: Pada tahap awal, Auguste Comte dianggap sebagai “Bapak Positivisme,” yang memperkenalkan gagasan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah yang sah. Pemikiran Comte dapat ditemukan dalam bukunya Course of Positive Philosophy.
  2. Positivisme Logis: Pada periode ini, tokoh-tokoh dari Lingkaran Wina seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap memperkenalkan konsep “logika positivisme,” yang menyatakan bahwa pernyataan ilmiah harus dapat diuji melalui pengamatan empiris (empirisme). Pemikiran mereka tercermin dalam karya-karya seperti The Logical Structure of the World karya Carnap.
  3. Empirio Positivisme2: Tahapan ini menekankan pada penggabungan perspektif psikologis dan subjektivisme3 dalam menafsirkan kebenaran ilmiah. Wilfrid Sellars dan Karl Popper menjadi tokoh kunci dalam kritik terhadap positivisme logis, menawarkan pendekatan yang lebih kritis melalui falsifikasi ilmiah.
  4. Positivisme Lingkaran Wina: Pada tahap ini, pemikiran kebenaran ilmiah menjadi lebih kompleks dengan memasukkan konsep atomisme logis, positivisme logis, dan semantika4, termasuk bahasa dan logika simbolis. Buku Language, Truth, and Logic karya A.J. Ayer merangkum pandangan ini, menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah terdiri dari komponen bahasa teoritis5, bahasa observasional6, dan kaidah bahasa.

Dalam metodologi penelitian, positivisme secara eksplisit menegaskan bahwa informasi faktual hanya dapat disampaikan dalam bahasa observasional. Sementara informasi teoritis, yang tidak bersifat faktual, diterjemahkan melalui kaidah korespondensi dalam konteks teori korespondensi7. Contoh dari hal ini adalah pernyataan “1 + 1 = 2,” yang baru memiliki arti jika dinyatakan dalam bahasa simbolis8 yang dapat diobservasi.

Positivisme ini juga diterapkan dalam penelitian modern dengan metode “deduksi-induksi” dan “falsifikasi”9 yang diperkenalkan oleh Karl Popper. Dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery, Popper menjelaskan bahwa kebenaran ilmiah harus selalu diuji melalui deduksi dan induksi untuk menghasilkan pemahaman yang lebih akurat.


Suntingan Karya:

Ayer, A.J. Language, Truth, and Logic. Penguin Books, 1936.

Comte, Auguste. Course of Positive Philosophy. Paris, 1830-1842.

Carnap, Rudolf. The Logical Structure of the World and Pseudoproblems in Philosophy. University of California Press, 1967.

Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. Routledge, 1959.

Schlick, Moritz, editor. The Vienna Circle: The Origin of Neo-Positivism. Blackwell, 1959. Sellars, Wilfrid. Empiricism and the Philosophy of Mind. Harvard University Press, 1956.

  1. Positivisme Logika Ekstrim, atau Empirisme Logis Ekstrim, adalah sebuah aliran filsafat yang menekankan pada verifikasi empiris sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan pengetahuan yang valid. Aliran ini sangat menekankan pentingnya bukti-bukti empiris dan menolak klaim-klaim yang tidak dapat diverifikasi melalui pengamatan atau eksperimen (https://bit.ly/3HCIDnz).  ↩︎
  2. Empirio-positivisme, yang juga dikenal sebagai positivisme logis atau neo-positivisme, adalah aliran filsafat yang menekankan pada validitas pengetahuan yang berasal dari pengalaman indrawi dan logika. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap metafisika dan menolak pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris (https://bit.ly/44fR0hy). ↩︎
  3. Subjektivisme adalah suatu paham yang menekankan bahwa setiap ilmu atau pengetahuan bersifat subjektif, yaitu berdasarkan persepsi, perasaan, atau pengalaman pribadi. Ini berarti kebenaran atau validitas suatu pengetahuan bergantung pada subjek yang mengetahuinya, bukan pada objek yang dipelajari secara objektif (https://bit.ly/4e0NDOE). ↩︎
  4. Semantik atau semantika adalah studi tentang makna. Ini adalah cabang linguistik yang berfokus pada pemahaman makna kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa, termasuk bagaimana makna tersebut dibangun, ditafsirkan, dan berubah. Semantik juga berkaitan dengan makna dalam berbagai bidang lain, seperti desain, ilmu komputer, dan filsafat. Dalam desain, semantik merujuk pada makna atau tujuan dari elemen visual atau objek, bukan hanya tampilannya. Dalam ilmu komputer, semantik berkaitan dengan makna kode atau program. Dalam filsafat, semantik berkaitan dengan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia (https://bit.ly/4l3N20X). ↩︎
  5. Bahasa teoritis dalam konteks linguistik merujuk pada studi bahasa yang fokus pada pengembangan teori-teori dan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum dalam bahasa manusia. Istilah ini juga bisa merujuk pada bahasa yang baru diramalkan atau ada dalam teori, tetapi belum teramati secara empiris (https://bit.ly/4605D9U). ↩︎
  6. Bahasa observasional dalam konteks ilmiah merujuk pada bahasa yang digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang diamati dan didokumentasikan secara langsung melalui pengamatan empiris, tanpa interpretasi atau teori yang mendahului. Bahasa ini bersifat objektif, deskriptif, dan berupaya untuk menggambarkan dunia sebagaimana adanya, bukan berdasarkan asumsi atau interpretasi subjektif (https://bit.ly/4l33Ntl). ↩︎
  7. Teori korespondensi, juga dikenal sebagai teori kesesuaian, menyatakan bahwa pernyataan atau proposisi adalah benar jika sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. Kebenaran diukur dengan perbandingan antara pernyataan dan dunia nyata atau objek yang diwakilinya (https://bit.ly/4mUDY0d). ↩︎
  8. Bahasa simbolis adalah penggunaan simbol-simbol atau lambang untuk menyampaikan pesan atau ide. Simbol tersebut bisa berupa benda, hewan, atau situasi yang mewakili sesuatu di luar makna literalnya. Simbolisme sering digunakan dalam sastra, seni, dan komunikasi untuk menyampaikan gagasan atau perasaan secara tidak langsung (https://bit.ly/4jOuWPI). ↩︎
  9. Falsifikasi adalah proses pengujian teori atau hipotesis dengan mencari bukti atau kondisi yang bisa membuktikan bahwa teori tersebut salah. Ini adalah kebalikan dari verifikasi, yang berusaha membuktikan teori benar. Falsifikasi berfokus pada upaya untuk mengidentifikasi kelemahan atau kesalahan dalam teori, bukan hanya mencari bukti yang mendukungnya (https://bit.ly/4dXbjU6). ↩︎

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top