MENYUSURI EPISTEMOLOGI: Verifikasionisme, Falsifikasionisme, Post-verifikasionisme, dan Epistemologi Tauhidi dalam Dinamika Riset

https://jurnal.manggala.ac.id

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang: Krisis Makna dan Perkembangan Ilmu

Pemahaman terhadap kebenaran dalam pemikiran manusia sejatinya tidak pernah mencapai titik akhir. Kebenaran bersifat nisbi dan perseptual; setiap jawaban atas suatu persoalan intelektual kerap melahirkan pertanyaan baru. Proses pencarian kebenaran bersifat dinamis dan tidak pernah final. Dalam ruang pemikiran, kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang mutlak dan statis, melainkan sebagai proses yang terus berkembang seiring waktu. Pemahaman terhadap kebenaran senantiasa bersifat kontekstual, di mana pemahaman terdahulu berinteraksi dan membentuk dasar bagi lahirnya pemahaman baru. Bahkan pemahaman terbaru sekalipun tidak bersifat final, karena akan terus terbuka terhadap revisi dan interpretasi ulang. Proses ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kebenaran dalam pemikiran selalu dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Kebenaran baru tidak muncul dari ruang hampa, melainkan tumbuh dari respons terhadap tradisi pemikiran sebelumnya. Di sinilah relevansi konsep intertekstualitas dan kontinuitas historis dalam evolusi pemikiran menjadi penting.

Tulisan ini bertujuan mengkaji evolusi pandangan tentang kebenaran dalam konteks filsafat ilmu dan metodologi riset. Secara historis, pemahaman tersebut dapat dilacak mulai dari mazhab verifikasionisme, yang menolak validitas pernyataan metafisik, kemudian bergeser menuju pendekatan falsifikasionisme dan berkembang menjadi aliran post-verifikasionisme. Selanjutnya, muncul pendekatan epistemologi tauhidi yang menawarkan paradigma baru: bahwa wahyu, intuisi spiritual (seperti ilham dan kasyf), bersama rasio dan pengalaman empiris, merupakan sumber-sumber sah pengetahuan.

B. Verifikasionisme

1. Hakikat Verifikasionisme sebagai Teori Makna serta Kritik terhadap Metafisika dan Etika Non-empiris

Verifikasionisme, yang juga dikenal sebagai teori verifikasi makna, merupakan salah satu landasan utama dalam aliran positivisme logis (logical positivism) dalam filsafat ilmu. Gagasan utamanya adalah bahwa sebuah pernyataan hanya memiliki makna apabila dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris atau analisis logika formal (Ayer, 1952; Carnap, 1967). Dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap bermakna apabila dapat dibuktikan kebenaran atau kesalahannya melalui pengamatan inderawi atau argumentasi logis.

Aliran ini muncul sebagai tanggapan kritis terhadap metafisika tradisional dan teologi, yang dianggap menghasilkan pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah (Schlick, 1979). Menurut pandangan ini, hanya dua jenis pernyataan yang dapat diterima sebagai bermakna secara ilmiah: pernyataan analitik (bersifat logis atau tautologis), dan pernyataan sintetik empiris (Ayer, 1952). Sementara itu, pernyataan yang bersifat metafisik, etis, maupun religius dikategorikan sebagai tidak bermakna secara ilmiah karena tidak dapat diverifikasi melalui metode ilmiah. Kendati demikian, pendekatan verifikasionis dinilai mampu menjaga disiplin ilmiah dengan menyaring pernyataan yang dapat diuji secara objektif. Ia menekankan pentingnya observasi empiris dan membatasi ruang lingkup ilmu dari spekulasi metafisis yang tidak dapat diuji (Uebel, 2020).

2. Tokoh dan Warisan Lingkaran Wina

Verifikasionisme berkembang dalam kerangka positivisme logis (logical positivism), terutama melalui pemikiran para anggota Lingkaran Wina pada awal abad ke-20. Tokoh-tokoh utama dalam perkembangan ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan A.J. Ayer (Uebel, 2007). Diskursus tentang verifikasionisme memiliki kaitan erat dengan metodologi riset ilmiah, karena berakar dari dinamika perkembangan filsafat positivistik itu sendiri. Adapun tahapan-tahapan penting dalam evolusi pemikiran positivisme dapat diringkas sebagai berikut:

  • Positivisme Awal (Comtean Positivism)1:Auguste Comte dianggap sebagai pelopor utama positivisme. Ia mengemukakan bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah adalah pengetahuan yang bersumber dari ilmu alam. Gagasannya tersebut terangkum dalam karyanya Course of Positive Philosophy, yang menekankan pada pentingnya pengamatan dan eksperimen dalam ilmu (Comte, 1830/1975).
  • Positivisme Logis: Fase ini dikembangkan oleh para filsuf dari Lingkaran Wina seperti Schlick dan Carnap, yang menyatakan bahwa pernyataan ilmiah harus dapat diuji melalui observasi empiris. Konsep ini terlihat dalam karya Carnap The Logical Structure of the World, yang memaparkan struktur logika di balik bahasa dan dunia pengalaman (Carnap, 1967) .
  • Empirio-Kritis dan Kritik Positivisme2: Dalam fase ini, pendekatan positivisme mulai dikritisi dan dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan unsur psikologis dan subjektivitas3 dalam proses pemahaman ilmiah. Wilfrid Sellars dan Karl Popper menjadi tokoh penting yang mengajukan pendekatan alternatif melalui prinsip falsifikasi, yang menekankan bahwa teori ilmiah harus terbuka terhadap kemungkinan dibuktikan salah (Popper, 2002; Sellars, 1956).
  • Pengembangan Semantik dan Linguistik: Perkembangan selanjutnya dalam positivisme logis memperluas fokus ke dalam bidang semantik4 dan analisis bahasa. Pemikiran ini mencakup unsur atomisme logis, logika simbolik, dan struktur bahasa ilmiah. Dalam Language, Truth, and Logic, A.J. Ayer menyatakan bahwa bahasa ilmiah terdiri dari bahasa teoritis5, bahasa observasional6, serta struktur linguistik yang menyertainya (Ayer, 1952) .

3. Implikasi Verifikasionisme dalam Metodologi Riset

Dalam konteks verifikasionisme dan aplikasinya dalam metodologi riset, positivisme menekankan bahwa informasi faktual hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa observasional yang dapat diverifikasi secara empiris. Sementara itu, informasi teoritis yang tidak langsung dapat diuji secara empiris perlu dihubungkan dengan realitas melalui kaidah korespondensi7, sebagaimana dijelaskan dalam teori korespondensi makna (Carnap, 1967; Ayer, 1952). Sebagai contoh, pernyataan seperti “1 + 1 = 2” baru bermakna secara ilmiah apabila dapat direpresentasikan dalam sistem simbolik8  yang dapat diamati dan diuji secara konsisten.

Pendekatan positivisme ini juga tercermin dalam metode riset kontemporer melalui penerapan pola deduktif-induktif dan prinsip falsifikasi9 sebagaimana dikembangkan oleh Karl Popper. Dalam The Logic of Scientific Discovery, Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah harus terbuka untuk diuji dan disangkal (difalsifikasi), sehingga pemahaman ilmiah dapat terus berkembang menuju tingkat akurasi yang lebih tinggi (Popper, 2002).

C. Falsifikasionisme dan Post-verifikasionisme

1. Logika FalsifikasiKarl Popper

Dalam tulisan ini, istilah post-verifikasionisme digunakan untuk merujuk pada sejumlah kecenderungan pemikiran filsafat ilmu yang muncul setelah krisis verifikasionisme logis, seperti falsifikasionisme Popper, paradigma Kuhn, serta pendekatan Lakatos dan Feyerabend. Istilah ini diajukan sebagai istilah konseptual untuk menyebut fase atau masa pemikiran pascapositivisme logis. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pendekatan filsafat ilmu setelah runtuhnya dominasi verifikasionisme, yaitu masa ketika pendekatan seperti falsifikasionisme, paradigma Kuhnian, Lakatosian, dan Feyerabendian mulai berkembang (Popper, 2002; Kuhn, 1970; Lakatos, 1978; Feyerabend, 1993).

Kritik terhadap verifikasionisme terletak pada masalah kriteria itu sendiri, yakni pernyataan, “suatu bahasa pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris,” justru tampak ambigu dan bersifat paradoksal, karena pernyataan tersebut sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris. Doktrin verifikasionisme semacam ini dianggap menegasikan dirinya sendiri (self-refuting) (Ayer, 1952; Chalmers, 1999).

Dalam perspektif spiritualisme, pernyataan tersebut tidak adil terhadap bahasa etika dan agama, sebab banyak pernyataan dalam kalimat etika, estetika, dan teologis sangat penting secara eksistensial dan ilmiah, meskipun memang tidak dapat diverifikasi secara empiris (Plantinga, 2000). Bahkan dalam sains sendiri, tidak semua teori dapat diverifikasi secara langsung, seperti dalam fisika kuantum, kosmologi, atau teori multiverse, namun tetap dianggap sah secara ilmiah karena didukung oleh judgement of experts (penilaian para ahli) (Barrow, 2007).

Verifikasionisme juga dianggap terlalu reduksionis, karena menolak wahyu, intuisi, dan pengalaman spiritual sebagai sumber sah pengetahuan. Ia mengabaikan tujuan transendental dan etis dari pengetahuan, serta bertentangan dengan epistemologi tauhidi yang memandang pengetahuan sebagai jalan menuju Tuhan, bukan sekadar akumulasi fakta (Nasr, 2006; Al-Attas, 1995).

Dengan demikian, post-verifikasionisme dalam filsafat epistemologi mencerminkan adanya dorongan dalam perkembangan filsafat bahasa dan filsafat sains abad ke-20 untuk mengintegrasikan etika dan agama sebagai bagian dari perhatian riset ilmiah. Namun demikian, verifikasionisme yang mengandalkan rasio dan empirisme tetap memiliki fungsi penting sebagai alat bantu kritis, terutama dalam menyaring pengetahuan empiris dan memperkuat metodologi ilmiah, khususnya dalam ilmu alam dan ilmu sosial (Chalmers, 1999; Uebel, 2020).

Teori falsifikasi ilmiah dari Karl Popper mengajukan gagasan bahwa pemahaman pengetahuan berkembang melalui proses penggugatan terhadap pemahaman lama. Dalam konteks ilmiah, kebenaran ilmiah tidak pernah final; sebuah teori ilmiah harus selalu terbuka untuk diuji dan dibantah. Dalam teori falsifikasi, ditegaskan bahwa suatu teori dianggap ilmiah jika bisa dibuktikan salah (falsifiable) (Popper, 2002).

Popper menolak gagasan verifikasionisme yang menyatakan bahwa sebuah teori atau pernyataan ilmiah dianggap benar apabila dapat dibuktikan kebenarannya melalui observasi atau pengalaman empiris (Ayer, 1952; Carnap, 1967). Menurut teori falsifikasi, tidak semua pernyataan ilmiah dapat langsung diverifikasi. Suatu teori pada awalnya tidak dapat diverifikasi karena keterbatasan pengamatan, khususnya pada metode induksi. Banyak observasi tidak menjamin kebenaran universal, sebab kesimpulan dari pengamatan terhadap objek tertentu tidak serta-merta menghasilkan pemahaman universal (Chalmers, 1999).

Hal ini menguatkan pernyataan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat disatukan, digeneralisasi, atau dibuat absolut karena akan menyingkirkan pemikiran lain yang berpeluang benar sesuai ruang dan waktunya (Feyerabend, 1993). Pemahaman ini sangat berkaitan erat dengan metodologi riset ilmiah yang terbuka, dinamis, dan selalu siap untuk diperbarui berdasarkan bukti baru dan kritik rasional (Popper, 2002).

2. Hermeneutika dan Pemahaman Historis – Hans-Georg Gadamer

Tokoh hermeneutika filosofis, Hans-Georg Gadamer, berpandangan bahwa pemahaman merupakan hasil dari dialog antara masa kini dan masa lalu (Gadamer, 1975). Gadamer menekankan bahwa pemahaman adalah proses historis yang senantiasa bergerak, tidak bersifat mutlak, dan terbentuk dari interaksi antara masa kini dan warisan masa lalu. Gagasan ini ia rumuskan dalam konsep fusi cakrawala (fusion of horizons), yaitu proses di mana makna terbentuk melalui interaksi dinamis antara pembaca, teks, dan konteksnya. Menurutnya, pemahaman tidak pernah bersifat final, melainkan selalu terbuka terhadap penafsiran ulang (Gadamer, 1975).

Fusi cakrawala merupakan proses pertemuan antara cakrawala pengalaman dan pemikiran pembaca masa kini dengan cakrawala historis teks yang ditafsirkan. Istilah “cakrawala” di sini tidak dipahami secara harfiah sebagai batas visual, melainkan sebagai kerangka interpretatif yang membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia. Dalam proses ini, pembaca tidak menciptakan makna dari ketiadaan, melainkan menafsirkan dengan menggabungkan apa yang telah ia pahami sebelumnya dengan pesan yang terkandung dalam teks, sehingga makna yang terbentuk memiliki akar dalam pengalaman dan pengetahuan historis (Gadamer, 1975).

Menurut Gadamer, dalam setiap proses menafsir, penafsir membawa latar historis yang membentuk cara pandangnya terhadap teks. Oleh sebab itu, pemahaman tidak pernah netral atau kosong, tetapi selalu terikat pada konteks sosial dan budaya tertentu. Bagi Gadamer, setiap penafsiran senantiasa membawa pra-pemahaman (pre-understanding), yakni seperangkat asumsi atau horizon makna yang dibawa oleh pembaca berdasarkan latar sosial, budaya, dan historisnya (Gadamer, 1975). Oleh karena itu, peristiwa interpretasi (penafsiran) tidak dimulai dari kekosongan (nihil) dalam pikiran; ia selalu terhubung (konteks) kepada waktu dan tempat yang bisa berbeda dari konteks asal teks itu sendiri.

Pemahaman yang sejati bukanlah hasil penyerapan pasif terhadap makna yang terkandung dalam teks, melainkan hasil dari dialog aktif antara cakrawala penafsir dan cakrawala yang dibawa oleh teks itu sendiri. Dalam dialog inilah terjadi transformasi makna—pemahaman baru yang bersifat kreatif dan terus berkembang.

Gagasan ini menegaskan bahwa pemahaman bersifat historis, kontekstual, dan terbuka, serta selalu berada dalam proses perubahan. Fusi cakrawala bukan proses sekali jadi, melainkan terus berlangsung seiring perubahan pengalaman dan horizon pengetahuan si penafsir (Gadamer, 1975). Implikasi filosofisnya adalah penolakan terhadap klaim objektivitas mutlak dalam memahami teks. Tidak ada satu pun pembacaan yang sepenuhnya netral atau bebas dari pengaruh subjektif dan historis pembaca. Dengan demikian, Gadamer membuka ruang bagi pluralitas makna dan pentingnya kesadaran akan keterbatasan perspektif dalam proses pemahaman.

Kebenaran dalam hermeneutika Gadamer tidak bersifat absolut atau tunggal. Upaya menyatukan kebenaran dalam satu formulasi universal justru berisiko menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan makna lain yang sah dan bernilai. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk terus membuka diri terhadap proses belajar dan perubahan. Aktivitas memahami bukan sekadar pengumpulan informasi, tetapi merupakan proses reflektif yang melibatkan akal, pengalaman, dan keterbukaan terhadap kemungkinan makna baru (Gadamer, 1975).

3. Revolusi Paradigma Ilmiah – Thomas Kuhn

Dalam teori paradigm shift Thomas Kuhn, dijelaskan bahwa perkembangan sains tidak bersifat linear, tetapi revolusioner. Perkembangan ini ditandai oleh pergeseran dari paradigma lama ke paradigma baru. Namun, setiap paradigma pun tidak pernah mutlak benar, melainkan bersifat sementara dan kontekstual (Kuhn, 1970). Paradigma dalam sains (paradigma ilmiah) dapat dimaknai sebagai asumsi, teori, dan metode. Dalam konteks yang lebih luas, paradigma dapat bermakna kerangka pemikiran atau pola dasar bagi seseorang atau komunitas dalam memandang dunia dan menyelesaikan masalah.

Dalam paradigma ilmiah, seseorang dapat memilih atau bahkan menentukan metode riset, teori, dan interpretasi data atau informasi yang diterima secara luas dalam komunitas ilmiah. Ketika paradigma berkembang atau bergeser, hal ini biasanya disebut sebagai perkembangan atau pergeseran paradigma (paradigm shift). Kuhn berpendapat bahwa pergeseran paradigma revolusioner dalam sains menunjukkan fase atau masa di mana seorang ilmuwan melampaui batas-batas paradigma sebelumnya dan mengadopsi cara pandang baru yang radikal (Kuhn, 1970).

Paradigma yang lama dapat bergeser secara menyeluruh menuju paradigma baru yang sering kali menantang dan merombak kerangka dan asumsi dasar sebelumnya. Pergeseran ini biasanya terjadi setelah kerangka yang lama terbukti tidak mampu menjawab masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang sama sekali baru. Ini terjadi sebagai pergeseran besar, mendadak, dan radikal yang disebut sebagai “revolusi” dalam kerangka pikir Kuhn.Teori pergeseran paradigma ini menolak gagasan bahwa perkembangan sains terjadi secara bertahap atau linear.

Menurut Kuhn, perubahan linear hanya menghasilkan penyesuaian teknis dalam paradigma yang sudah ada, tanpa menggugat fondasi dasar berpikir ilmiah. Sebaliknya, revolusi ilmiah adalah pergeseran mendasar dalam kerangka konseptual ilmuwan, yang mengarah pada lahirnya paradigma baru yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan atau dibandingkan dengan paradigma lama (Kuhn, 1970). Pemikiran ini dijelaskan secara rinci dalam karya pentingnya The Structure of Scientific Revolutions.

4. Program Riset Ilmiah – Imre Lakatos

Imre Lakatos mengkritik pemikiran Popper dan Kuhn. Ia menolak pandangan Popper karena falsifikasi dianggap terlalu sederhana. Dalam praktiknya, ilmuwan tidak langsung membuang teori hanya karena satu data atau informasi yang menyanggahnya (Lakatos, 1978). Demikian pula, ia mengkritik Kuhn karena gagasan paradigm shift terlalu menyerupai revolusi sosial dan tidak memberikan kriteria rasional untuk memilih teori terbaik di antara dua paradigma yang bersaing (Lakatos, 1970).  

Sebagai alternatif, Lakatos memperkenalkan scientific research programme sebagai satuan analisis dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Suatu program riset ilmiah terdiri dari beberapa unsur utama, yaitu inti keras (hard core), sabuk pelindung (protective belt), serta heuristik negatif dan positif yang membimbing jalannya penelitian (Lakatos, 1978).

Dalam konsep inti keras, Lakatos menekankan bahwa asumsi dasar tidak boleh diganggu gugat selama program riset masih aktif. Asumsi dasar ini mirip postulat atau aksioma, yang merupakan kumpulan prinsip inti, fondasi teoretis, atau keyakinan utama dari suatu program riset ilmiah. Menurut Lakatos, jika setiap kritik langsung diarahkan ke inti keras, maka ilmu pengetahuan tidak akan berkembang secara stabil. Oleh karena itu, inti keras harus dilindungi, karena kontinuitas program riset ilmiah sangat bergantung padanya (Lakatos, 1970).

Sebaliknya, kritik dan anomali diarahkan ke bagian luar dari teori, yaitu sabuk pelindung. Sabuk ini terdiri dari hipotesis tambahan atau hipotesis pendukung, asumsi teknis, atau disebut asumsi tambahan, atau kondisi batas, yakni informasi spesifik yang diperlukan untuk menghubungkan teori dan eksperimen. Bagian ini boleh dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan temuan baru atau menjawab anomali yang muncul. Dengan demikian, ilmuwan dapat merespons kritik ilmiah tanpa harus membatalkan seluruh teori utama (Lakatos, 1978).

Tujuan Lakatos terlihat jelas bahwa ia menghendaki agar stabilitas program ilmiah tetap berlangsung sebab tidak setiap anomali langsung meruntuhkan seluruh teori. Selain itu, hal ini memungkinkan perkembangan bertahap, yaitu perubahan besar baru akan terjadi jika program riset dinilai degeneratif dan ada program lain yang lebih progresif dalam menjelaskan fenomena (Lakatos, 1970). Dalam hal ini, ia berbeda tajam dengan paradigma revolusioner Thomas Kuhn. Lakatos ingin membuat metode ilmiah lebih realistis karena dalam praktik nyata, ilmuwan tidak mudah mengganti teori inti; mereka lebih suka menyempurnakan bagian pinggirannya agar tetap konsisten dengan hasil observasi.

5. Pluralisme Epistemologis – Paul Feyerabend dan Kritik Terhadap Dominasi Positivisme dalam Ilmu

Paul Feyerabend menolak pandangan bahwa ilmu berkembang secara linear. Dalam hal ini, ia sejalan dengan Thomas Kuhn; bahkan, ia melangkah lebih jauh dengan menolak bahwa perkembangan ilmu bersifat rasional dan metodis (Feyerabend, 1993). Feyerabend mengangkat slogan provokatif Anything goes —segala cara boleh dipakai dalam ilmu. Ia menolak klaim bahwa ada satu metode ilmiah yang benar atau unggul. Menurutnya, sejarah sains menunjukkan bahwa para ilmuwan besar sering kali melanggar logika atau kaidah metodologis yang mapan demi mempertahankan teori yang pada akhirnya terbukti berhasil.

Feyerabend sangat mendukung pluralitas cara mengetahui (pluralisme epistemologis). Baginya, perkembangan ilmu tidak selalu bersifat rasional dan sistematis, karena ilmu pengetahuan hanyalah salah satu bentuk dari banyak cara manusia memahami dunia. Ia menyatakan bahwa sains tidak memiliki keunggulan mutlak atas bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti mitos, agama, atau seni (Feyerabend, 1975).

Lebih jauh, Feyerabend menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah kegiatan yang bebas nilai. Ia menyatakan bahwa sains sering kali dipengaruhi oleh kekuasaan, ideologi, dan budaya dominan. Oleh karena itu, ia mengembangkan pandangan relitivisme epistemologis, yaitu bahwa semua sistem pengetahuan memiliki hak yang sama untuk diakui dan dihargai (Feyerabend, 1993). Ia menolak adanya hierarki antara yang “ilmiah” dan “non-ilmiah” serta menolak keberadaan otoritas tunggal dalam sains yang bersikap eksklusif terhadap bentuk-bentuk pengetahuan lainnya.

Dalam kritiknya yang tajam, Feyerabend menolak gagasan “diktator sains” yang memaksakan diri sebagai satu-satunya cara berpikir yang sah. Menurutnya, jika sains ingin benar-benar bebas dan berkembang, maka ia harus membuka diri terhadap keberagaman pendekatan dan menghindari dogmatisme metodologis. Dengan demikian, Feyerabend tidak hanya merelatifkan metode ilmiah, tetapi juga memperjuangkan demokratisasi pengetahuan—yakni pengakuan bahwa tidak ada satu pun bentuk pengetahuan yang dapat mengklaim monopoli atas kebenaran.

D. Epistemologi Tauhidi: Sintesis Spiritualitas dan Ilmu

1. Definisi dan Prinsip Dasar Epistemologi Tauhidi

Epistemologi tauhidi adalah cabang filsafat yang membahas tentang proses pencarian, pengembangan, dan penerapan ilmu dengan berpijak pada prinsip keesaan Allah (tauhid) dalam ajaran Islam. Dalam epistemologi tauhidi, seluruh bentuk pemahaman terhadap ilmu dianggap sah dan benar hanya jika berasal dari atau sesuai dengan wahyu, dan diarahkan untuk mengenal serta mendekatkan diri kepada Allah sebagai sumber segala kebenaran (al-Attas, 1980; Nasr, 1992).

Pertanyaan-pertanyaan pokok dalam epistemologi tauhidi meliputi: Apa hakikat pengetahuan yang diciptakan Allah? Bagaimana pengetahuan ciptaan-Nya diperoleh? Apa yang membedakan pengetahuan dari opini dengan kebenaran absolut? Bagaimana sesuatu dapat diketahui kebenarannya (validitas) menurut rasio, empiris, wahyu, dan pengetahuan intuitif (kasyf)? Apa syarat dalam keyakinan spiritual agar sesuatu dapat disebut sebagai pengetahuan (Kartanegara, 2007)?

Sesuatu disebut “pengetahuan” dalam tradisi pemikiran klasik jika memenuhi tiga syarat (Justified True Belief menurut Plato), yaitu: kepercayaan (belief) terhadap sesuatu, kebenaran (truth) yang objektif, dan pembenaran (justification) yang rasional. Dalam epistemologi tauhidi, kebenaran berasal dari Allah; karenanya, tauhid tidak hanya menjadi prinsip teologis, tetapi juga paradigma ilmiah yang mendasari cara berpikir umat Islam (al-Attas, 1995).

Ilmu tidak bersifat netral, karena selalu mengandung nilai dan arah. Tujuan ilmu adalah ibadah dan kemaslahatan umat, bukan sekadar akumulasi fakta atau kekuasaan atas alam (Nasr, 2006). Epistemologi tauhidi mengintegrasikan wahyu dengan penalaran rasional dan observasi empiris. Rasionalisme dan empirisme tidak ditolak, melainkan diposisikan sebagai alat bantu untuk memahami wahyu dan mengenali tanda-tanda Allah di alam (Kartanegara, 2006).

Sumber pengetahuan lainnya seperti kritisisme, pragmatisme, fenomenologi, dan konstruktivisme dapat dimanfaatkan sebagai instrumental epistemologies—yakni alat bantu eksternal untuk memperkaya pengetahuan, selama tidak menyalahi prinsip tauhid (Zarkasyi, 2011). Epistemologi tauhidi lahir sebagai respons terhadap krisis makna dalam sains modern, seperti relativisme, objektivisme, dan nihilisme yang berakar dari filsafat Barat sekuler (Nasr, 1992). Ia juga menjadi jawaban atas kegagalan sains positivistik dalam menjawab persoalan moral dan spiritual manusia.

Menurut pendekatan ini, ilmu adalah amanah (mandat ilahi), bukan sekadar alat untuk menguasai atau mengeksploitasi. Oleh karena itu, aktivitas ilmiah seperti belajar, meneliti, dan mengajar dipandang sebagai bagian integral dari ibadah dan pembangunan peradaban Islam (al-Attas, 1995).

2. Epistemologi Islam Kritis: Menelusuri Nalar Arab – Abed al-Jabiri

Mohammed Abed al-Jabiri mengangkat pembahasan tentang nalar Arab dan epistemologi Islam dalam upaya membedah struktur berpikir umat Islam serta relasinya dengan perkembangan peradaban. Ia menekankan kontekstualitas pengetahuan dalam Islam dan mengajukan kritik terhadap bentuk akal tradisional yang cenderung stagnan dan tidak responsif terhadap tantangan zaman. Dalam proyek intelektualnya, al-Jabiri mendorong rekonstruksi pemikiran Islam agar lebih rasional, kontekstual, dan relevan dengan persoalan kontemporer (al-Jabiri, 1991).

Menurut al-Jabiri, nalar Arab-Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pola epistemologis utama, yaitu: nalar bayani (berbasis teks dan otoritas), nalar irfani (berbasis intuisi dan kasyf), dan nalar burhani (berbasis logika dan argumen rasional). Ia mengusulkan agar umat Islam membangun kembali epistemologinya berdasarkan nalar burhani yang rasional dan argumentatif, tanpa menafikan peran teks dan spiritualitas (al-Jabiri, 1991; 2001).

Epistemologi Islam sendiri membahas asal-usul, sumber, validitas, metode, dan tujuan pengetahuan menurut perspektif tauhid. Ia menyatukan tiga sumber utama pengetahuan: akal (rasio), wahyu (iman), dan intuisi (dzauq atau ilham) sebagai sumber yang saling melengkapi (Nasr, 1992; Kartanegara, 2006). Berbeda dari epistemologi Barat yang cenderung memisahkan diri dari nilai-nilai spiritual, epistemologi Islam tidak memisahkan fakta dari makna, serta menempatkan ilmu dalam kerangka moral dan ketundukan kepada Tuhan.

Dalam sistem epistemologi Islam, rasio digunakan untuk memahami realitas, menganalisis logika, dan mengambil kesimpulan secara sistematis. Akal sangat dihargai, namun ia bukan satu-satunya sumber kebenaran. Posisi tertinggi dalam epistemologi Islam adalah wahyu, sebagai sumber mutlak yang memberikan arahan moral, metafisik, dan eksistensial yang tidak dapat dicapai oleh akal semata (al-Attas, 1995).

Selain akal dan wahyu, pengetahuan juga diperoleh melalui ilham dan kasyf, yakni intuisi batiniah yang bersifat langsung dan transrasional. Namun, validitas pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf tetap harus diuji agar tidak bertentangan dengan prinsip wahyu dan rasio. Pengetahuan yang sah dalam epistemologi Islam adalah pengetahuan yang membawa manusia kepada kebenaran sejati, yaitu ma’rifatullah—pengakuan akan keesaan dan kebesaran Tuhan (Kartanegara, 2006; Nasr, 2006).

3. Primasi Eksistensi dan Gerak Substansial – Mullā Ṣadrā

Teori transcendent theosophy (al-Ḥikmah al-Mutaʿāliyah) yang dikembangkan oleh Mullā Ṣadrā menawarkan pendekatan filosofis yang menggabungkan antara wahyu, akal, dan intuisi dalam kerangka epistemologi Islam. Salah satu kontribusi utamanya adalah konsep  gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah), yang menyatakan bahwa realitas, termasuk kesadaran dan pemahaman, berada dalam keadaan perubahan dan perkembangan berkelanjutan (Ṣadrā, 1981/2003; Nasr, 2006). Pemahaman menurut Mullā Ṣadrā bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu proses transformatif yang menyatu dengan gerak ontologis menuju kesempurnaan.

Epistemologi Mullā Ṣadrā merupakan sintesis dari berbagai tradisi pemikiran Islam: filsafat peripatetik Ibn Sīnā (mashāʾī), filsafat illuminasi Suhrawardī (ishrāq), tasawuf filsafat Ibn ʿArabī (ʿirfān), serta teologi kalām Ahlussunnah dan Syiah (Rizvi, 2009; Nasr, 1996). Namun, dalam praktiknya, sistem epistemologi Mullā Ṣadrā lebih diterima dalam tradisi Syiah, karena afinitasnya dengan metafisika Ibn Sīnā dan spiritualitas ishrāqī.

Konsep utama pertama adalah Primasi Eksistensi (aṣālat al-wujūd), yakni eksistensi lebih fundamental daripada esensi. Esensi hanya menunjukkan “apa” sesuatu itu, sementara eksistensi menjawab pertanyaan “apakah sesuatu itu benar-benar ada” (Ṣadrā, 2003; Rizvi, 2009). Hal ini membalik pandangan filsafat klasik yang mengutamakan esensi. Konsep kedua adalah Gradasi Eksistensi (tashkīk al-wujūd), yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat bertingkat dari materi ke spiritualitas tertinggi, yaitu Tuhan. Ini menyiratkan bahwa realitas bersifat hierarkis dan multidimensional.

Konsep ketiga adalah Gerak Substansial, yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk materi, mengalami perubahan esensial yang konstan menuju kesempurnaan spiritual. Konsep keempat adalah kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan. Dalam epistemologi Mullā Ṣadrā, pengetahuan bukanlah sekadar representasi, melainkan penyatuan ontologis antara yang mengetahui dan yang diketahui (Ṣadrā, 2003). Konsep kelima adalah epistemologi iluminatif dan kontemplatif, yakni pengetahuan diperoleh bukan hanya melalui rasionalisme dan empirisme, tetapi juga melalui kasyf dan penyucian jiwa (Nasr, 2006).

Epistemologi Mullā Ṣadrā menawarkan kerangka metodologi riset yang transendental, holistik, dan hierarkis. Peneliti tidak hanya menganalisis “apa” sesuatu itu (esensi), tetapi juga menyelidiki “bagaimana” tingkat eksistensinya dan bagaimana hal itu menghubungkan manusia kepada realitas spiritual dan Ilahi (Ṣadrā, 2003). Misalnya, dalam riset ekonomi Islam, pendekatan ini tidak cukup dengan meneliti efisiensi pasar syariah, tetapi harus menyelidiki apakah sistem tersebut memperkuat ma‘rifatullah, keadilan sosial, dan tauhid dalam masyarakat.

Gerak substansial menuntut metodologi riset yang bersifat longitudinal dan prosesual. Realitas yang diteliti tidak boleh dipandang statis, melainkan sedang bergerak menuju kesempurnaan. Misalnya, riset tentang perubahan masyarakat muslim harus menangkap dinamika batin, spiritual, dan nilai, bukan hanya indikator material. Hal ini menuntut kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif—terutama dengan menekankan transformasi.

Dalam gradasi eksistensi, realitas dilihat sebagai berlapis-lapis. Oleh karena itu, riset idealnya menggunakan multi-level approach, dari fisik, psikologis, sosial, hingga spiritual. Misalnya, dalam psikologi Islam, gangguan jiwa tidak cukup dijelaskan oleh faktor biologis atau psikososial, tetapi juga oleh alienasi spiritual (Kartanegara, 2006).

Konsep kesatuan subjek dan objek menuntut transformasi pribadi peneliti. Peneliti bukan sekadar pengamat, tetapi bagian dari realitas yang diteliti. Oleh karena itu, riset yang menyentuh wilayah tasawuf, filsafat, dan etika harus melibatkan pengalaman dan refleksi batin peneliti, bukan hanya observasi eksternal. Validitas pengetahuan tidak hanya diuji secara logis atau empiris, tetapi juga secara spiritual.

Dalam kerangka ini, riset menjadi ibadah dan sarana tazkiyat al-nafs (penyucian diri), bukan sekadar produksi data. Pengetahuan bukan hanya alat kontrol terhadap dunia, melainkan jembatan menuju kebenaran dan kedekatan kepada Tuhan. Epistemologi Mullā Ṣadrā menolak reduksionisme dan sekularisme ilmiah, dan mengajukan kerangka riset yang menyatu antara wahyu–akal–intuisi (dzauq) sebagai pendekatan metodologis yang utuh.

4. Intuisi Spiritual dan Fanā’ sebagai Jalan Ilmu – ʿAbd al-Qādir al-Jīlānī

Untuk mengarahkan kepada metode intuisi-‘irfānī, tulisan ini juga menyajikan pemikiran ʿAbd al-Qādir al-Jīlānī, seorang tokoh sufi yang sangat berpengaruh dalam tradisi Ahlussunnah dan sangat dihormati di dunia Islam, termasuk Indonesia (Geoffroy, 2010). Ia menekankan bahwa tauhid bukan hanya pengakuan lisan, tetapi harus dialami secara batin. Segala sesuatu selain Allah adalah fanā’ (lenyap), sehingga tauhid menurutnya bersifat eksistensial—bukan sekadar konseptual (al-Jīlānī, 1991).

Konsep fanā’ yang ia tekankan berkaitan dengan pengosongan diri dari kehendak pribadi (irādah al-nafs) demi totalitas ketundukan kepada kehendak Ilahi (irādah Allāh). Hal ini mencerminkan pendekatan spiritual yang bertujuan membersihkan jiwa dari riyā’, ‘ujub, dan sifat-sifat destruktif lainnya, sembari mengokohkan komitmen terhadap syariat (al-Jīlānī, 1991; Nasr, 2007). Tasawuf menurut al-Jīlānī bukanlah penghindaran terhadap hukum-hukum Islam, tetapi pendalaman eksistensial terhadap makna syariat dalam hidup batin.

Setelah proses fanā’ tercapai, al-Jīlānī menggambarkan kondisi spiritual baqā’ sebagai keberlangsungan spiritual bersama Allah. Baqā’ adalah kondisi ketenangan ruhani dan penyatuan kehendak (ittiḥād al-irādah) antara hamba dan Tuhan (Geoffroy, 2010). Ia menyebutkan bahwa puncak dari ilmu adalah ma‘rifah, dan itu tidak dicapai hanya melalui akal atau pembelajaran rasional, melainkan melalui ṣabr (kesabaran), khawf (rasa takut kepada Allah), maḥabbah, tawakkal, dan riḍā’ (al-Jīlānī, 1991).

Untuk mencapai keadaan itu, ʿAbd al-Qādir menekankan praktik spiritual seperti khalwah (penyendirian), mujāhadah (pengendalian hawa nafsu), dhikr, dan ṣuḥbah (bergaul dengan mursyid yang saleh) sebagai sarana untuk membuka hijab batin dan menerima ilham Ilahi (Nasr, 2007).

Pemikiran al-Jīlānī sangat relevan dalam epistemologi tauhidi karena menawarkan pendekatan spiritual eksistensial terhadap pengetahuan, berbeda dari pendekatan rasionalisme-sekuler yang menekankan objektivitas netral. Dalam kerangka epistemologi tauhidi, pengetahuan bukan hanya knowing, melainkan submitting—tunduk kepada kehendak Allah (Kartanegara, 2006). Ilmu sejati adalah cahaya yang diberikan kepada hati yang suci, bukan alat dominasi atau pencapaian ego (al-Jīlānī, 1991).

Sumber pengetahuan dalam pandangan al-Jīlānī tidak terbatas pada rasio dan empiri, tetapi mencakup wahyu, ilham, dan intuisi spiritual (dzawq, kashf) yang sah selama tidak bertentangan dengan prinsip wahyu. Ini sejalan dengan kerangka epistemologi tauhidi integratif: akal–wahyu–dzauq. Oleh karena itu, metodologi riset menurut model ini mesti mempertimbangkan kesucian niat, keikhlasan, dan adab spiritual peneliti.

Al-Jīlānī menolak ilmu yang memperkuat nafsu dan ego, seperti ilmu yang dipakai untuk kesombongan atau manipulasi. Ilmu harus membawa fanā’ al-nafs dan menguatkan ubūdiyyah (kesadaran sebagai hamba), serta membimbing manusia menuju pengenalan Allah dan harmoni dengan kehendak-Nya (Geoffroy, 2010). Implikasi pemikirannya dalam riset adalah munculnya pendekatan holistik-spiritual, di mana riset bukan sekadar akumulasi data, tetapi juga menjadi sarana transformasi diri dan masyarakat. Ilmu harus membawa manfaat ruhani, akhlak, dan sosial—bukan sekadar manfaat teknis.

E. Epilog

Perjalanan pemikiran dari verifikasionisme hingga pendekatan transendental dalam epistemologi menunjukkan bahwa pencarian pengetahuan tidak berhenti pada kepastian empiris semata. Verifikasionisme memang menegaskan pentingnya kejelasan logis dan observasi, namun kritik dari falsifikasionisme, paradigma ilmiah, hingga pendekatan intuitif memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam dialog antara kepastian dan keterbatasan.

Gagasan-gagasan kontemporer menekankan bahwa pengetahuan tidak lahir dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi oleh sejarah, budaya, intuisi, bahkan nilai-nilai non-empiris yang membentuk cara kita memahami realitas. Dalam konteks ini, pendekatan transendental dan kontemplatif mengingatkan bahwa di balik pencarian kebenaran, terselip dimensi terdalam: kesadaran, penghayatan, dan keterbukaan terhadap makna yang melampaui angka dan data. Ilmu, pada akhirnya, bukan hanya tentang menjelaskan dunia, tetapi juga tentang memahami posisi manusia di dalamnya. Maka, riset dan pengetahuan bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi ruang pertumbuhan dan refleksi—proses menjadi utuh sebagai manusia.

Suntingan Karya

  • Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam: An exposition of the fundamental elements of the worldview of Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
  • al-Jabiri, M. A. (1991). Critique of Arab reason (Vol. 1: The formation of Arab reason). Center for Arab Unity Studies.
  • al-Jabiri, M. A. (2001). Arab-Islamic philosophy: A contemporary critique. University of Texas Press.
  • al-Jīlānī, ʿAbd al-Qādir. (1991). Futūḥ al-Ghayb [The Revelations of the Unseen]. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
  • Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic (2nd ed.). Dover Publications.
  • Barrow, J. D. (2007). New theories of everything: The quest for ultimate explanation. Oxford University Press.
  • Carnap, R. (1967). The logical structure of the world: Pseudoproblems in philosophy (R. A. George, Trans.). University of California Press. (Original work published 1928)
  • Comte, A. (1975). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). AMS Press. (Original work published 1830)
  • Chalmers, A. F. (1999). What is this thing called science? (3rd ed.). Open University Press.
  • Carnap, R. (1967). The logical structure of the world: Pseudoproblems in philosophy (R. A. George, Trans.). University of California Press. (Original work published 1928)
  • Feyerabend, P. (1975). Against method: Outline of an anarchistic theory of knowledge. New Left Books.
  • Feyerabend, P. (1993). Against method (3rd ed.). Verso. (Original work published 1975)
  • Feyerabend, P. (1993). Farewell to reason. Verso.
  • Gadamer, H.-G. (1975). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans., 2nd ed.). Continuum. (Original work published 1960)
  • Geoffroy, E. (2010). Introduction to Sufism: The Inner Path of Islam (trans. R. Dobie). World Wisdom.
  • Kartanegara, M. (2007). Menalar Tuhan: Pendekatan filosofis terhadap ajaran-ajaran agama. Mizan.
  • Kartanegara, M. (2006). Integrasi ilmu: Sebuah rekonstruksi holistik. Mizan.
  • Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press. (Original work published 1962)
  • Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes (J. Worrall & G. Currie, Eds.). Cambridge University Press.
  • Nasr, S. H. (1992). A young Muslim’s guide to the modern world. Kazi Publications.
  • Nasr, S. H. (1996). The Islamic intellectual tradition in Persia. Curzon Press.
  • Nasr, S. H. (2006). Knowledge and the sacred. SUNY Press.
  • Nasr, S. H. (2006). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.
  • Nasr, S. H. (2006). The essential Seyyed Hossein Nasr. World Wisdom.
  • Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. HarperOne.
  • Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.
  • Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1935)
  • Rizvi, S. A. (2009). Mullā Ṣadrā and metaphysics: Modulation of being. Routledge.
  • Ṣadrā, M. (2003). The metaphysics of Mullā Ṣadrā (Kitāb al-Mashāʿir) (I. Kalin, Trans.). Brigham Young University Press. (Karya asli diterbitkan tahun 1981)
  • Schlick, M. (1979). Philosophical papers: Volume II (1925–1936) (H. L. Mulder & B. F. B. Van de Velde-Schlick, Eds.). Reidel Publishing Company.
  • Sellars, W. (1956). Empiricism and the philosophy of mind. Harvard University Press.
  • Uebel, T. (2007). Empiricism at the crossroads: The Vienna Circle’s protocol-sentence debate. Open Court.
  • Uebel, T. (2020). Logical positivism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/logical-positivism/
  • Zarkasyi, H. F. (2011). Epistemologi Islam: Studi kritis terhadap pemikiran al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan Fakhruddin al-Razi. Bina Ilmu.

Catatan Kaki:

  1. Positivisme Logika Ekstrem, atau Empirisme Logis Ekstrem adalah aliran filsafat yang menjadikan verifikasi empiris sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan yang valid. Aliran ini menolak segala klaim yang tidak dapat diverifikasi melalui pengamatan atau eksperimen. ↩︎
  2. Empirio-positivisme, yang juga dikenal sebagai positivisme logis atau neo-positivisme, adalah aliran filsafat yang menekankan pada validitas pengetahuan yang berasal dari pengalaman indrawi dan logika. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap metafisika dan menolak pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. ↩︎
  3. Subjektivisme adalah suatu paham yang menekankan bahwa setiap ilmu atau pengetahuan bersifat subjektif, yaitu berdasarkan persepsi, perasaan, atau pengalaman pribadi. Artinya, kebenaran atau validitas suatu pengetahuan bergantung pada subjek yang mengetahuinya, bukan pada objek yang dipelajari secara objektif. ↩︎
  4. Semantik atau semantika adalah studi tentang makna. Ini merupakan cabang linguistik yang berfokus pada pemahaman makna kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa, termasuk bagaimana makna tersebut dibangun, ditafsirkan, dan berubah. Semantik juga berkaitan dengan makna dalam berbagai bidang lain, seperti desain, ilmu komputer, dan filsafat. Dalam desain, semantik merujuk pada makna atau tujuan dari elemen visual atau objek, bukan hanya tampilannya. Dalam ilmu komputer, semantik berkaitan dengan makna kode atau program. Sementara dalam filsafat, semantik membahas hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. ↩︎
  5. Bahasa teoritis dalam konteks linguistik merujuk pada studi bahasa yang berfokus pada pengembangan teori-teori dan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum dalam bahasa manusia. Istilah ini juga dapat merujuk pada bahasa yang baru diramalkan atau hanya ada dalam teori, tetapi belum teramati secara empiris. ↩︎
  6. Bahasa observasional dalam konteks ilmiah merujuk pada bahasa yang digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang diamati dan didokumentasikan secara langsung melalui pengamatan empiris, tanpa didahului oleh interpretasi atau teori. Bahasa ini bersifat objektif, deskriptif, dan berupaya menggambarkan dunia sebagaimana adanya, bukan berdasarkan asumsi atau interpretasi subjektif. ↩︎
  7. Teori korespondensi, juga dikenal sebagai teori kesesuaian, menyatakan bahwa suatu pernyataan atau proposisi dianggap valid jika sesuai dengan bukti atau fakta yang ada. Kebenaran diukur melalui perbandingan antara pernyataan tersebut dengan dunia nyata atau objek yang diwakilinya. ↩︎
  8. Bahasa simbolis adalah penggunaan simbol-simbol atau lambang untuk menyampaikan pesan atau ide. Simbol tersebut dapat berupa benda, hewan, atau situasi yang mewakili sesuatu di luar makna literalnya. Simbolisme sering digunakan dalam sastra, seni, dan komunikasi untuk menyampaikan gagasan atau perasaan secara tidak langsung. ↩︎
  9. Falsifikasi adalah proses pengujian terhadap suatu teori atau hipotesis dengan cara mencari bukti atau kondisi yang dapat menunjukkan bahwa teori tersebut keliru. Ini merupakan kebalikan dari verifikasi, yang berupaya membuktikan bahwa suatu teori benar. Falsifikasi berfokus pada upaya mengidentifikasi kelemahan atau kesalahan dalam suatu teori, bukan sekadar mencari bukti yang mendukungnya. ↩︎

2 thoughts on “MENYUSURI EPISTEMOLOGI: Verifikasionisme, Falsifikasionisme, Post-verifikasionisme, dan Epistemologi Tauhidi dalam Dinamika Riset”

  1. Sesuatu yang sulit dipahami perlahan dengan irisan waktu akan terpahamkan. Apakah kebenaran ini dipahami setelah mau melakukan penafsiran atas makna dari semua teks, atau jauh sebelum pemahaman atas kebenaran itu ada tersimpan secara intuisi dalam bathin manusia atau subjektivitas kebenaran. Top pagi ini membaca tulisan yang sehat dan berharga terimakasih.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top