PARADIGMA POSITIVISME DALAM METODOLOGI RISET

mohamadnizar@manggala.ac.id

mohamadnizar@gurukedua.com

mohamadnizar@gmail.comhttps://jurnal.manggala.ac.id

A. Pengantar

Paradigma positivisme dalam metodologi riset merujuk pada kerangka penalaran atau kerangka teoretik-analitik yang ditetapkan oleh periset untuk menguji hipotesis atau asumsi terhadap objek penelitian atau kajian. Riset dimulai dengan menetapkan prinsip atau pendekatan sebagai fondasi metodologis. Metodologi riset dalam paradigma positivisme berkembang melalui beberapa periode:

  1. Positivisme Logika Ekstrim (abad ke-19 – awal abad ke-20):
    Dikembangkan oleh Auguste Comte, periode ini menempatkan ilmu alam sebagai satu-satunya standar kebenaran ilmiah. Rasionalisme menjadi dasar utama, dengan klaim bahwa hanya pengetahuan yang terukur dan teramati yang valid (Comte, 1830).
  2. Positivisme Logis (1920-an):
    Dipelopori oleh Moritz Schlick dan Lingkaran Wina, periode ini menekankan verifikasi empiris sebagai syarat kebenaran. Pernyataan ilmiah harus terstruktur secara logis dan terbukti melalui observasi. Sosiologi mulai diintegrasikan ke dalam kerangka positivis (Ayer, 1936).
  3. Empirio-Positivisme (1930-an):
    Menggabungkan psikologisme ekstrem dengan subjektivisme, periode ini menafsirkan kebenaran melalui lensa pengalaman individu, meski tetap berpegang pada kerangka empiris (Carnap, 1928).
  4. Positivisme Lingkaran Wina (1940-an):
    Mengembangkan sintesis antara atomisme logis, positivisme logis, dan semantika. Kebenaran ilmiah direduksi ke dalam dua komponen: (1) bahasa teoretis (abstrak) dan (2) bahasa observasional (konkret). Kaidah korespondensi digunakan untuk menghubungkan keduanya. Misalnya, simbol matematika seperti 1 + 1 = 2 hanya bermakna jika diterjemahkan ke dalam konteks empiris (Schlick, 1934).
  5. Deduksi-Falsifikasi Karl Popper (1950-an):
    Popper mengkritik verifikasionisme Lingkaran Wina dan menggantinya dengan falsifikasi. Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang melalui deduksi hipotesis yang kemudian diuji secara induktif. Jika hipotesis gagal, proses deduksi-induktif diulang hingga mencapai kepastian yang lebih tinggi (Popper, 1959).
    Paradigma positivisme berfokus pada analisis fakta, perbaikan berkelanjutan (kontinum), dan pencarian kepastian melalui pendekatan sistematis. Namun, paradigma ini dikritik oleh postmodernisme karena dianggap mengabaikan kompleksitas subjektivitas manusia dan konteks kultural (Kuhn, 1962).

B. Prinsip dalam Riset Positivis

Prinsip riset positivis merujuk pada teori-teori yang telah menjadi dalil, hukum, atau kaidah yang bersifat atomistik dan parsimoni (sederhana namun mendalam). Prinsip ini menjadi landasan teoretik yang harus dirumuskan dengan cermat dalam Bab II (Tinjauan Pustaka) karena menentukan arah riset.

  1. Ilmu-ilmu Alam: Dalam ilmu alam, prinsip ini sering diwujudkan dalam bentuk hipotesis yang mengutamakan kepastian. Hipotesis ini rentan terhadap pembuktian atau pembantahan oleh teori-teori baru.
  2. Hipotesis: Hipotesis adalah hasil jelajah teoretik periset yang menghasilkan dugaan atau proposisi (berupa pertanyaan atau pernyataan) tentang objek riset. Hipotesis tidak harus terjawab atau terdukung dalam simpulan, asalkan metode dan teknik risetnya benar. Metode riset positivis terbagi menjadi:
    a. Deduktif-Kuantitatif: Menggunakan teknik analisis matematika (deducto-hypothetico-verifikatif).
    b. Induktif-Kuantitatif: Menggunakan teknik analisis statistik (inducto-hypothetico-verifikatif).
    Konsistensi dalam penerapan prinsip ini mencerminkan fanatisme positivisme terhadap objektivitas dan kepastian. Untuk memahami lebih jauh, penting mempelajari silogisme sebagai dasar logika deduktif.

C. Pendekatan dalam Riset Kualitatif

Pendekatan riset kualitatif berbeda dengan positivisme. Pendekatan ini merujuk pada pemikiran intersubjektivitas, teorema, dan konsepsi yang bersifat holistik dan umum. Pendekatan ini juga harus dirumuskan dengan cermat dalam Bab II karena menjadi kerangka teoretik-analitik riset.

a. Lahan Studi Sosial-Humaniora: Dalam ilmu sosial dan humaniora, pendekatan ini sering menggunakan asumsi karena menuntut penalaran multidimensional. Pernyataan lama (qoul qodim) tidak serta-merta terpatahkan oleh pernyataan baru (qoul jadid).
b. Asumsi: Asumsi adalah hasil jelajah teoretik periset yang menghasilkan proposisi (berupa pertanyaan atau pernyataan) tentang objek penelitian. Simpulan penelitian dapat berupa skenario pemecahan masalah atau penyajian data/informasi tentang suatu peristiwa, isu, atau fenomena baru.

Metode riset kualitatif terbagi menjadi:
a. Induktif-Kualitatif: Menggunakan teknik analisis data kuantifikasi statistik.
b. Deduktif-Kualitatif: Menggunakan teknik seperti snowball sampling, FocusGroup Discussion (FGD), atau Centre Group Discussion (CGD).

Riset kualitatif inilah yang dapat mengarahkan pemikiran ke arah postmodernisme-postpositivisme, terutama dalam bidang humaniora seperti seni, sastra, dan hukum. Sementara itu, bidang seperti ekonomi, arsitektur, dan desain, termasuk kajian-kajian linguistik dan studi internsional, mereka memiliki maqom tersendiri dalam metodologi.

D. Metode dan Pendekatan dalam Riset

Diskusi tentang “metode” dan “pendekatan” seringkali bersifat persepsi. Saya mengadopsi makna “pendekatan” dari Wuryanto (2020) yang menjelaskan bahwa pendekatan adalah cara pandang atau kerangka teoretik yang digunakan untuk memahami suatu masalah. Agar tidak terjebak dalam fanatisme positivisme puritan, penting untuk menunda kontradiksi antara sains dan bidang studi lainnya. Misalnya, pemikiran René Descartes (“Cogito, ergo sum” atau “Aku berpikir, maka aku ada”) mengungkapkan pentingnya refleksi diri dalam memahami eksistensi.

Metode adalah prosedur sistematis dalam penelitian, baik deduktif/induktif-kuantitatif maupun deduktif/induktif-kualitatif. Metode ini dilahirkan setelah proposisi (postulat) dalam “prinsip” atau “pendekatan” ditetapkan.

  1. Frame of Experience: Pengalaman peneliti seringkali tidak konsisten dan mulai “mengkhianati” fanatisme positivisme. Namun, hal ini tidak melunturkan hakikat positivisme sebagai azas bertolak untuk memahami realitas.
  2. Metode Kualitatif: Dalam metode kualitatif, terdapat deduktif-kualitatif dan induktif-kualitatif. Bahkan, pendekatan campuran (mixed methods) antara kuantitatif dan kualitatif semakin menunjukkan ketidakkonsistenan dan mengindikasikan pengaruh postmodernisme.

E. Positivisme Melahirkan Modernisme

Modernisme dan Kritik atas Keseragaman Pemikiran: Modernisme, sebagai narasi besar peradaban Barat yang berakar pada tradisi Yunani, Romawi, dan Eropa, cenderung memaksakan keseragaman atas keberagaman pemikiran tentang fenomena alam, sosial, dan seni. Ciri-ciri modernisme meliputi:

  1. Proyeksi Menuju Kemapanan Hirarkis: Modernisme berfokus pada pembentukan struktur hierarkis yang mapan, baik dalam gagasan keilmuan maupun implementasinya dalam tatanan sosial dan seni.
  2. Pencarian Kebenaran Tunggal: Modernisme mengagungkan grand theory sebagai kebenaran universal, mengesampingkan middle-range theory dan teori-teori parokial yang bersifat lokal atau kontekstual.
  3. Sumber Kebenaran Rasional-Empiris: Modernisme hanya mengakui rasio dan empiris sebagai sumber kebenaran, menolak intuisi, wahyu, atau teks suci sebagai bagian dari pengetahuan, serta menunda atau mengabaikan fakta metafisika.
  4. Ramifikasi Doktrin Keilmuan: Perbedaan doktrin keilmuan dianggap sebagai percabangan dari suatu pengetahuan utama, termasuk etika dan keyakinan spiritual (faith) yang dipandang sebagai turunan dari gejala ilmiah eksklusif.
    Istilah “kritik” dalam konteks ini bermakna “kritis” terhadap suatu fenomena melalui kajian multidimensional. Untuk memahami teori kritik, penting mempelajari pemikiran para filsuf seperti Derrida, Foucault, Giddens, Habermas, dan Barthes. Karya-karya mereka memberikan landasan teoretis untuk mengkritik modernisme dan membuka ruang bagi pemikiran alternatif.

F. Postpositivisme dan Lahirnya Postmodernisme

Postpositivisme melahirkan postmodernisme sebagai respons terhadap keterbatasan modernisme. Postmodernisme menghargai keberagaman pemikiran tentang fenomena alam, sosial, dan seni dengan membangun skenario dan opsi paradigmatik dalam metodologinya. Istilah “postmodernisme” populer pada awal abad ke-20, terutama pascaperang dingin, ketika dunia mengalami pergeseran dari bipolaritas (Barat-Timur) ke multipolaritas. Para pemikir terkemuka seperti Derrida, Foucault, dan Baudrillard memaknai “post” sebagai bentuk radikal dari modernisme yang akhirnya “mati sendiri” karena ketidakmampuannya menyeragamkan berbagai teori. Graffin melihat postmodernisme sebagai koreksi terhadap unsur-unsur modernisme, sementara Giddens memandangnya sebagai modernisme yang telah mencapai kesadaran diri dan kebijaksanaan. Habermas, di sisi lain, menganggap postmodernisme sebagai tahap modernisme yang belum selesai.

Postmodernisme tidak sepenuhnya menanggalkan metodologi positivisme-modernisme, tetapi mengajak para ilmuwan, akademisi, dan teoritisi untuk berijtihad keluar dari kotak kemapanan (mainstream) guna mencari struktur baru dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Postmodernisme bersifat interpretif, dekonstruktif, dan mencari pemaknaan deep structure, menjadikannya pendekatan yang canggih (sophisticated).

Rujukan Ahli

Ayer, A.J. (1936). Language, Truth, and Logic. London: Victor Gollancz Ltd.

(Buku ini membahas positivisme logis dan verifikasi empiris sebagai syarat kebenaran ilmiah.)

Barthes, R. (1957). Mythologies. Paris: Éditions du Seuil.

(Buku ini mengungkap mitos dan ideologi dalam budaya populer melalui pendekatan semiotik.)

Carnap, R. (1928). Der Logische Aufbau der Welt. Berlin: Weltkreis-Verlag.

(Karya ini menjelaskan empirio-positivisme dan pengaruh psikologisme dalam positivisme.)

Comte, A. (1830). Cours de Philosophie Positive. Paris: Bachelier.

(Karya ini merupakan dasar dari positivisme logika ekstrem, menekankan ilmu alam sebagai standar kebenaran ilmiah.)

Creswell, J.W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.Thousand Oaks: Sage Publications.

(Buku ini membahas metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan campuran.)

Derrida, J. (1978). Of Grammatology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

(Buku ini memperkenalkan dekonstruksi sebagai metode analisis kritik dalam postmodernisme.)

Descartes, R. (1637). Discourse on the Method. Leiden: Jan Maire.

(Karya ini memperkenalkan prinsip “Cogito, ergo sum” sebagai dasar refleksi diri dalam filsafat.)

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. New York: Pantheon Books.

(Karya ini membahas relasi kuasa dan pengetahuan dalam konteks postmodernisme.)

Guba, E.G., & Lincoln, Y.S. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. In N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 105–117). Thousand Oaks: Sage Publications.

(Artikel ini membedakan paradigma positivisme, postpositivisme, dan postmodernisme dalam penelitian kualitatif.)

Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press.

(Karya ini membahas argumentasi komunikasi sosial dalam ruang publik.)

Kuhn, T.S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
(Buku ini mengkritik positivisme dan memperkenalkan konsep pergeseran paradigma dalam ilmu pengetahuan.)

Lyotard, J-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.

(Buku ini menjelaskan kritik postmodernisme terhadap narasi besar dan kebenaran tunggal.)

Popper, K.R. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge.

(Karya ini memperkenalkan falsifikasi sebagai alternatif verifikasionisme dalam positivisme.)

Schlick, M. (1934). Gesammelte Aufsätze 1926–1936. Vienna: Gerold & Co.

(Karya ini membahas sintesis antara atomisme logis, positivisme logis, dan semantika dalam Lingkaran Wina.)

Wuryanto, H. (2020). Pendekatan dalam Penelitian: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jakarta: Penerbit Akademia.
(Buku ini menjelaskan makna “pendekatan” sebagai kerangka teoretik dalam penelitian.)

https://gurukedua.com/wp-admin/post.php?post=266&action=edit

https://gurukedua.com/wp-admin/post.php?post=266&action=edit

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top